Kutukan Makam Mumi
oleh R.L Stine
Diterjemahkan oleh Farid Zainal Effendi
1
Aku melihat Piramida Besar itu dan menjadi
haus.
Mungkin ini semua karena
pasir. Begitu kering dan kuning, tampaknya akan mengembang selamanya. Itu
bahkan membuat langit tampat kering.
Aku menyodok ibuku yang ada di samping.
"Bu, aku benar-benar haus."
"Jangan sekarang,"
katanya. Satu tangannya ke dahinya, melindungi matanya dari sinar matahari yang
terang saat ia menatap piramida besar itu.
Jangan sekarang?
Apa maksudnya "jangan sekarang" ?
Aku haus. Sekarang!
Seseorang menabrakku dari
belakang dan meminta maaf dalam suatu bahasa asing. Aku tak pernah bermimpi
bahwa saat aku melihat Piramida Besar itu akan ada begitu banyak turis lainnya.
Kukira setengah orang di dunia ini memutuskan untuk menghabiskan liburan Natal
mereka di Mesir tahun ini.
"Tapi, Bu -"
kataku. Aku tak bermaksud mengeluh. Hanya saja tenggorokanku begitu kering.
"Aku benar-benar haus."
"Kami tak akan
memberimu minum sekarang," jawabnya, menatap piramida itu.
"Berhentilah bertindak sepertinya kau (anak) empat tahun. Kau sudah dua
belas tahun. Ingat?"
"(Anak) umur dua belas
tahun juga haus," gumamku. "Pasir-pasir di udara ini, itu membuatku
tercekik."
"Lihatlah piramida
itu," katanya, terdengar sedikit kesal. "Itulah sebabnya kita datang
ke sini. Kita tak datang ke sini untuk minum.."
"Tapi aku tercekikk!" teriakku,
terengah-engah dan memegang leherku.
Baiklah, jadi aku tak
tercekik. Aku melebih-lebihkan sedikit, hanya berusaha untuk mendapatkan
perhatiannya. Tapi ia menarik pinggiran topi jeraminya ke bawah dan terus
menatap ke arah piramida itu, yang berkilauan dalam panas.
Aku putuskan untuk mencoba
ayahku. Seperti biasa, ia mempelajari beberapa buku panduan yang selalu
dibawanya kemana-mana. Aku tak berpikir ia bahkan masih belum melihat piramida.
Dia selalu melewatkan semuanya karena ia selalu terkubur dalam buku panduan.
"Yah, aku benar-benar
haus," kataku, sambil berbisik, seolah-olah tenggorokanku tegang agar bisa
menyampaikan pesanku.
"Wow. Apa kau tahu
seberapa luas piramida itu?" tanyanya, menatap gambar piramida dalam
bukunya.
"Aku haus, Yah."
"Luasnya tiga belas
hektar, Gabe," katanya, benar-benar bersemangat. "Apa kau tahu
piramida itu terbuat dari apa?"
Aku ingin mengatakan Silly Putty.
(arti asli Siily Putty
adalah dempul bodoh? Bisa juga berarti mainan dari polymer yanga dapat memantul
tapi pecah jika terlalu keras dan dapat mengalir seperti cairan).
Dia selalu mengujiku. Setiap
kali kami melakukan perjalanan, dia selalu menanyaiku dengan sejuta pertanyaan
seperti itu. Kurasa aku tak pernah menjawab dengan benar. "Semacam
bebatuan?" jawabku.
"Itu benar." Dia
tersenyum padaku, lalu berbalik kembali ke bukunya. "Ini terbuat dari batu
kapur. Balok-balok batu kapur. Dikatakan di sini bahwa beberapa balok beratnya
sampai seribu ton."
"Wah," kataku. "Itu lebih dari
Anda dan Ibu yang ditempatkan bersama-sama!
Dia memalingkan matanya dari
buku itu dan mengerutkan kening. "Tak lucu, Gabe." "Cuma
bercanda," kataku. Ayah sedikit sensitif tentang berat badannya, jadi aku
mencoba untuk menggodanya tentang hal ini sesering yang aku bisa.
"Bagaimana menurutmu,
(cara) orang-orang Mesir kuno memindahkan batu yang beratnya seribu ton?"
tanyanya.
Waktu untuk kuis belum
berakhir. Tebakku. "Di truk-truk?"
Dia tertawa. "Truk-truk? Mereka belum
punya roda."
Aku melindungi mataku dan
menatap piramida itu. Benar-benar besar, jauh lebih besar daripada yang
terlihat dalam gambar. Dan lebih kering.
Aku tak bisa membayangkan
bagaimana mereka menarik batu-batu besar di pasir tanpa roda.
"Aku tak tahu," aku mengaku.
"Aku benar-benar haus."
"Tak ada yang tahu
bagaimana mereka melakukannya," kata Ayah. Jadi itu pertanyaan jebakan.
"Yah, aku benar-benar perlu minum."
"Jangan sekarang,"
katanya. Ia memicingkan mata ke piramida itu. "Memberimu perasaan aneh,
bukan?"
"Ini memberiku perasaan
haus," kataku, berusaha untuk menjelaskan maksudku. "Tidak. Maksudku,
itu memberiku perasaan aneh untuk berpikir bahwa nenek moyang kita - kau dan
aku, Gabe - mungkin telah berjalan di sekitar piramida ini, atau bahkan
membantu membangunnya. Ini memberiku semacam (perasaan) mengerikan. Bagaimana
denganmu? "
"Kurasa," kataku. Dia benar. Ini
agak menarik.
Kami orang Mesir, kau lihat.
Maksudku, kakek nenekku datang dari Mesir. Mereka pindah ke Amerika Serikat
sekitar tahun 1930. Ibu dan ayahku keduanya lahir di Michigan. Kami semua
sangat senang melihat negara asal nenek moyang kami.
"Aku ingin tahu apakah
pamanmu Ben di dalam piramida itu sekarang," kata Dad, melindungi matanya
dari sinar matahari dengan satu tangan.
Paman Ben Hassad. Aku hampir
lupa tentang pamanku, arkeolog terkenal. Paman Ben adalah salah satu alasan
lain (mengapa) kami memutuskan untuk datang ke Mesir selama liburan. Alasan itu
dan kenyataan bahwa ibu dan ayahku punya beberapa bisnis tang harus dikerjakan
di Kairo dan Alexandria dan beberapa tempat lainnya.
Ibu dan Ayah punya bisnis
mereka sendiri. Mereka menjual peralatan pendingin. Ini biasanya tidak sangat
menarik. Tetapi kadang-kadang mereka melakukan perjalanan ke tempat-tempat
rapi, seperti Mesir, dan aku bisa pergi dengan mereka.
Aku memutar mataku ke piramida itu dan
berpikir tentang pamanku.
Paman Ben dan para
pekerjanya sedang menggali di sekitar Piramida Besar itu, menjelajahi dan
menemukan mumi-mumi yang baru, kurasa. Dia selalu tertarik akan tanah air nenek
moyang kami. Dia telah tinggal di Mesir selama bertahun-tahun. Paman Ben adalah
seorang ahli piramida dan mumi. Aku bahkan pernah melihat fotonya satu kali di
National Geographic.
"Kapan kita akan
melihat Paman Ben?" tanyaku, sambil menarik lengan ayah. Aku sengaja
menariknya terlalu keras, dan buku panduan itu jatuh dari tangannya. Aku
membantunya mengambilnya.
"Tidak hari ini,"
kata Ayah, menyeringai. Dia tak suka membungkuk untuk mengambil sesuatu.
Perutnya akan jadi maju. "Ben akan bertemu kita di Kairo dalam beberapa
hari." "Mengapa kita tak naik ke piramida itu dan melihat apakah dia
ada di sana sekarang?" Tanyaku tak sabar.
"Kita tak diizinkan," jawab Ayah.
"Lihat - unta-unta!" Ibu menyodok
bahuku dan menunjuk.
Benar saja, beberapa orang
telah tiba di atas unta. Salah satu unta tampaknya tiba-tiba terbatuk. Kukira
dia haus juga. Orang-orang yang mengendarai unta-unta itu adalah para turis dan
tampaknya mereka sangat tak nyaman. Mereka kelihatannya tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Apakah Anda tahu
bagaimana caranya turun dari unta?" Aku bertanya pada ayahku. Dia
menyipitkan mata di piramida, mempelajari bagian atasnya. "Tidak.
Bagaimana?" "Kau tak turun dari unta," kataku. "Kau turun
dari bebek."
Aku tahu. Aku tahu. Ini
lelucon yang sangat tua. Namun, ayahku dan aku tak pernah bosan.
"Apakah kau melihat unta-unta itu?"
tanya Ibu.
"Aku tidak buta,"
jawabku. Haus selalu menempatkanku dalam suasana hati yang jelek. Selain itu,
apa yang begitu menarik tentang unta? Mereka benar-benar tampak kotor, dan
baunya seperti kaus kaki olahragaku setelah pertandingan basket.
"Apa masalahmu?" Tanya Ibu,
memainkan topi jeraminya.
"Kubilang,"
kataku, tak bermaksud untuk terdengar sangat marah. "Aku haus."
"Gabe, benar-benar." Dia melirik Ayah, kemudian kembali ke menatap
piramida. "Yah, apakah Anda pikir Paman Ben dapat membawa kita dalam
piramida?" Tanyaku antusias. "Itu benar-benar akan menjadi luar
biasa."
"Tidak, aku tak
berpikir begitu," katanya. Dia menyelipkan buku panduannya ke ketiaknya
sehingga ia bisa menaikkan teropong ke matanya. "Aku benar-benar tak
berpikir begitu, Gabe. Aku tak berpikir itu diperbolehkan.."
Aku tak bisa menyembunyikan
kekecewaanku. Aku punya semua fantasi tentang pergi ke dalam piramida dengan
pamanku, menemukan mumi dan harta benda kuno. Melawan orang-orang Mesir kuno
yang hidup kembali untuk mempertahankan makam suci mereka, dan melarikan diri
setelah pengejaran yang liar, seperti Indiana Jones. "Aku takut kau hanya
akan menikmati piramida itu dari luar," kata Ayah, mengintip di atas pasir
kuning, mencoba untuk memfokuskan teropong itu.
"Aku sudah menikmati
piramida itu," kataku muram. "Bisakah kita pergi minum
sekarang?"
Aku sedikit tahu bahwa dalam
beberapa hari ini, Ibu dan Ayah akan pergi, dan aku akan jauh berada di dalam
piramida yang kami lihat itu. Bukan hanya di dalamnya, tetapi terperangkap di
dalamnya, disegel di dalamnya - mungkin selamanya.
2
Kami melaju dari al-Jizah
kembali ke Kairo dalam mobil sewaan kecil lucu yang telah diambil ayah di
bandara. Ini bukan perjalanan yang panjang, tapi kelihatannya lama untukku.
Mobil itu hanya sedikit lebih besar daripada beberapa mobil remote controlku
yang lama, dan kepalaku terbentur atap dengan setiap kali ada gundukan.
Aku membawa Game Boyku
bersamaku, tapi Ibu membuatku menyimpannya jadi aku bisa menonton sungai Nil di
sepanjang jalan yang mengikutinya di pinggir sungai. Sungai itu sangat luas dan
sangat cokelat.
"Tak seorang pun di
kelasmu yang melihat Sungai Nil di Natal ini," kata Ibu, angin panas itu
meniup rambut cokelatnya melalui jendela mobil yang terbuka.
"Bisakah aku bermain dengan Game Boyku
sekarang?" tanyaku.
Maksudku, ketika kau benar-benar turun ke sana,
suatu sungai adalah sungai.
Satu jam kemudian, kami
kembali di Kairo dengan jalan-jalan sempitnya yang ramai. Ayah salah belok dan
mengantarkan kami ke dalam semacam pasar, dan kami terjebak di sebuah gang
kecil di belakang kawanan kambing selama hampir setengah jam.
Aku tak mendapat minum
sampai kami kembali ke hotel, dan pada saat itu, lidahku seukuran sosis dan
menjuntai ke bawah ke lantai seperti Elvis. Dia adalah anjing cocker spaniel
kami di rumah.
Aku akan mengatakan satu hal
yang menyenangkan tentang Mesir. Coca colanya seenak coca cola di rumah. Ini
Coca cola Classic, juga, bukan jenis lainnya. Dan mereka memberi lebih banyak
es, yang suka kurekahkan dengan gigiku.
Kami memiliki kamar suite di
hotel, dua tempat tidur dan semacam ruang tamu. Jika kau melihat ke luar
jendela, kau bisa melihat gedung kaca pencakar langit yang tinggi di seberang
jalan, sama seperti yang akan kau lihat di setiap kota.
Ada TV di ruang tamu, tapi
semua orang berbicara bahasa Arab. Pertunjukannya juga bagaimanapun juga tak
tampaknya terlalu menarik. Terutama kebanyakan berita. Satu-satunya saluran
dalam bahasa Inggris adalah CNN. Tapi itu juga berita.
Kami baru saja mulai
berbicara tentang ke mana harus pergi untuk makan malam ketika telepon
berdering. Ayah pergi ke kamar tidur untuk menjawabnya. Beberapa menit kemudian
dia memanggil Ibu, dan aku bisa mendengar mereka berdua mendiskusikan sesuatu.
Mereka berbicara sangat pelan,
jadi kupikir itu ada hubungannya denganku dan mereka tak ingin aku
mendengarnya.
Seperti biasanya, aku benar.
Mereka berdua keluar dari
kamar tidur beberapa menit kemudian, tampaknya semacam khawatir. Pikiran
pertamaku adalah nenekku telah menelepon untuk mengatakan bahwa sesuatu yang
buruk telah terjadi pada Elvis di rumah.
"Apa ada yang salah?" tanyaku.
"Siapa yang menelepon?"
"Ayahmu dan aku harus
pergi ke Alexandria. Segera," kata Ibu sambil duduk di sampingku di sofa.
"Hah Alexandria??"
Kami tak seharusnya pergi ke sana hingga akhir minggu. "Urusaan
bisnis," kata Ayah. "Seorang pelanggan penting ingin bertemu dengan
kami pertama kali besok pagi."
"Kami harus naik pesawat yang akan
berangkat dalam satu jam," kata Ibu.
"Tapi aku tak ingin
pergi," kataku pada mereka, melompat dari sofa. "Aku ingin tinggal di
Kairo dan melihat Paman Ben. Aku ingin pergi ke piramida dengannya. Kalian
telah berjanji!"
Kami berdebat sebentar
tentang hal itu. Mereka mencoba meyakinkanku bahwa ada banyak hal -hal menarik
untuk dilihat di Alexandria, tapi aku tak mau menyerah. Akhirnya, Ibu punya
ide. Dia pergi ke kamar tidur, dan aku mendengarnya menelepon seseorang.
Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan senyum di wajahnya. "Aku berbicara
dengan Paman Ben," katanya.
"Wow! Apa mereka punya telepon di dalam
piramida?" tanyaku.
"Tidak, aku berbicara
kepadanya di pondok kecil dimana dia tinggal di al-Jizah," jawabnya.
"Dia bilang dia akan datang dan mengurusmu, jika kau inginkan. Sementara
ayahmu dan aku di Alexandria.."
"Ya?" Ini adalah
permulaan yang kedengarannya luar biasa. Paman Ben adalah salah satu orang
paling keren yang pernah kukenal. Kadang-kadang aku tak bisa percaya dia adalah
saudara Ibu.
"Itu pilihanmu,
Gabe," katanya, sambil melirik ayahku. "Kau bisa datang dengan kami,
atau kau bisa tinggal dengan Ben sampai kami kembali."
Beberapa pilihan.
Aku tak perlu berpikir
tentang hal ini lebih dari seperdelapan belas detik. "Aku akan tinggal dengan
Paman Ben!" Aku menyatakan.
"Satu hal lagi,"
kata Ibu, menyeringai untuk suatu alasan. "Kau mungkin ingin untuk
berpikir tentang hal ini."
"Aku tak peduli apa
itu," aku bersikeras. "Aku memilih Paman Ben." "Sari juga
liburan Natal," kata Ibu. "Dan dia juga tinggal dengannya."
"Bah!" Teriakku ,
dan melemparkan diriku ke sofa dan mulai memukul-mukul alasnya dengan kedua
tangan.
Sari, putri Paman Ben yang
sombong. Satu-satunya sepupuku. Umurnya sama denganku - dua belas - dan
pikirnya dia begitu hebat. Dia pergi ke sekolah asrama di Amerika Serikat,
sementara ayahnya bekerja di Mesir.
Dia benar-benar cantik, dan
dia tahu itu. Dan dia pintar. Dan terakhir kali aku melihatnya, dia seinci
lebih tinggi dariku.
Itulah Natal terakhir,
kurasa. Dia pikir dia benar-benar istimewa karena dia bisa sampai ke level
terakhir dari Super Mario Land. Tapi itu tak adil karena aku tak memiliki Super
Nintendo, hanya Nintendo biasa. Jadi aku tak pernah berlatih.
Kupikir itulah apa yang dia
suka tentang aku, yang terbaik bahwa dia bisa mengalahkanku di pertandingan dan
hal -hal lainnya. Setahuku Sari adalah orang yang paling suka bersaing. Dia
harus menjadi yang pertama dan terbaik dalam segala hal. Jika setiap orang di
sekitarnya terkena flu, ia harus menjadi orang pertama terkena! "Hentikan
memukul sofa seperti itu," kata Ibu. Dia mencengkeram lenganku dan menarikku
berdiri.
"Apakah itu berarti kau
berubah pikiran? Kau ikut dengan kami?" tanya Ayah. Aku memikirkan hal
itu.
"Tidak, aku akan
tinggal di sini bersama Paman Ben," aku memutuskan.
"Dan kau tak akan
berkelahi dengan Sari?" tanya Ibu.
"Dia yang menantangku," kataku.
"Ibumu dan aku harus cepat-cepat,"
kata Ayah.
Mereka menghilang ke kamar
tidur untuk berkemas. Aku menyalakan TV dan menyaksikan semacam acara permainan
dalam bahasa Arab. Para pesertanya tertawa terus. Aku tak tahu mengapa. Aku tak
tahu bahasa Arab sepatah kata pun.
Setelah beberapa saat, Ayah
dan Ibu keluar lagi, menyeret koper. "Yah tak akan sampai ke bandara tepat
waktu," kata Ayah.
"Aku telah bicara dengan
Ben," kata Ibu padaku, menyisir rambut dengan tangannya. "Dia akan
berada di sini dalam satu jam sampai satu setengah jam. Gabe, kau tak keberatan
tinggal sendirian di sini untuk satu jam, bukan begitu?."
"Hah?"
Tak cukup sebagai jawaban, aku akui. Tapi pertanyaannya
mengejutkanku.
Maksudku, tak pernah
terpikir olehku bahwa orang tuaku sendiri akan meninggalkanku sendirian di
sebuah hotel besar di satu kota yang aneh di mana aku bahkan tak tahu
bahasanya. Maksudku, bagaimana mereka bisa melakukan itu padaku?
"Tak masalah,"
kataku. "Aku akan baik-baik saja. Aku cukup menonton TV sampai dia
datang."
"Ben sudah dalam
perjalanan," kata Ibu. "Dia dan Sari sebentar lagi akan berada di
sini. Dan aku menelepon ke manajer hotel. Dia mengatakan bhwa dia akan menyuruh
seseorang melihatmu dari waktu ke waktu."
"Di mana petugas
hotel?" tanya Ayah dengan gugup mondar-mandir ke pintu dan kembali lagi.
"Aku memanggilnya sepuluh menit yang lalu."
"Cukup tinggal di sini
dan tunggu Paman Ben, oke?" Ibu berkata padaku, berjalan di belakang sofa,
sambil membungkuk, dan meremas telingaku. Untuk suatu alasan, dia pikir aku
menyukai itu. "Jangan pergi keluar atau apa pun. Tunggu dia di sini."
Dia membungkuk dan mencium dahiku.
"Aku tak akan
bergerak," aku berjanji. "Aku akan tinggal di sini di sofaku. Aku tak
akan pergi ke kamar mandi atau apa pun."
"Tak bisakah kau
serius?" Tanya Ibu, sambil menggeleng-geleng kepalanya. Terdengar ketukan
keras di pintu. Pelayan hotel itu, seorang pria bungkuk yang sangat tua yang
kelihatannya bahkan ia tak bisa mengangkat sebuah bantal bulu, telah tiba untuk
mengambil tas.
Ibu dan Ayah, tampak sangat
cemas, memberiku pelukan dan perintah-perintah terakhir, dan mengatakan padaku
sekali lagi untuk tinggal di kamar. Pintu ditutup setelah mereka pergi, dan
suasana tiba-tiba sangat sepi.
Sangat tenang.
Aku menghidupkan TV untuk
membuatnya sedikit ramai. Acara permainan itu telah selesai, dan sekarang
seorang pria dalam setelan putih sedang membaca berita dalam bahasa Arab.
"Aku tak takut,"
kataku keras-keras. Tapi aku punya semacam perasaan ketat di tenggorokanku.
Aku berjalan ke jendela dan
melihat keluar. Matahari hampir terbenam. Bayangan gedung pencakar langit
miring di atas jalan dan ke hotel.
Aku mengangkat gelas Coca
colaku dan menyesapnya sekali. Sudah encer dan tawar. Perutku berbunyi.
Tiba-tiba kusadari bahwa aku lapar.
Layanan kamar, pikirku.
Lalu aku memutuskan lebih
baik aku tak melakukannya. Bagaimana jika aku memanggil dan mereka hanya
berbicara bahasa Arab?
Aku melirik jam. Tujuh lebih
dua puluh. Aku harap Paman Ben tiba. Aku tak takut. Aku hanya berharap dia
segera tiba.
Oke. Mungkin aku sedikit gugup.
Aku berjalan mondar-mandir
sebentar. Kucoba bermain Tetris pada Game Boy, tapi aku tak bisa
berkonsentrasi, dan lampunya itu tidak sangat baik.
Sari mungkin juara Tetris,
pikirku getir. Di mana mereka? Apa yang membuat mereka begitu lama?
Aku mulai memiliki perasaan
ngeri, pikiran yang menakutkan: Bagaimana jika mereka tak dapat menemukan hotel
ini? Bagaimana jika mereka bingung dan pergi ke hotel yang salah?
Bagaimana jika mereka
tertimpa dalam suatu kecelakaan mobil yang mengerikan dan mati? Dan aku
sendirian di Kairo selama berhari-hari?
Aku tahu. Itu pikiran bodoh.
Tapi itu pikiran semacam itu kau miliki ketika kau sendirian di tempat asing,
menunggu seseorang untuk datang.
Aku melirik ke bawah dan
menyadari bahwa aku telah mengambil keluar tangan mumi dari saku celana
jeansku.
Tangan mumi itu kecil,
seukuran tangan anak. Suatu tangan kecil yang dibungkus kain kasa cokelat
tipis. Aku membelinya di bengkel lelang beberapa tahun yang lalu, dan aku
selalu membawanya kemanapun sebagai jimat keberuntungan.
Anak yang menjualnya kepadaku
menyebutnya sebagai "Summoner"(Si Pemanggil). Dia mengatakan benda
itu digunakan untuk memanggil roh-roh jahat, atau yang lainnya. Aku tak peduli
tentang itu. Aku hanya berpikir itu adalah tawaran yang luar biasa untuk dua
dolar. Maksudku, benda apa yang bagus untuk ditemukan di bengkel lelang! Dan
mungkin itu bahkan tak nyata.
Aku melemparkannya dari
tangan ke tangan saat aku mondar-mandir di sepanjang ruang tamu. TV itu mulai
membuatku gugup, jadi aku mematikannya.
Tapi sekarang kesunyian itu membuatku gugup.
Aku menamparkan tangan mumi
itu ke telapak tanganku dan terus mondar-mandir. Di mana mereka? Mereka
harusnya sudah berada di sini sekarang.
Aku mulai berpikir bahwa aku
telah membuat pilihan yang salah. Mungkin aku harusnya pergi ke Alexandria dengan
Ibu dan Ayah.
Lalu aku mendengar suara di
pintu. Langkah-langkah kaki. Apa itu mereka?
Aku berhenti di tengah ruang
tamu dan mendengarkan, menatap melewati lorong depan yang sempit ke pintu.
Cahaya dalam lorong itu itu
redup, tetapi aku melihat pegangan pintu itu berputar. Itu aneh, pikirku. Paman
Ben mestinya mengetuk dulu - bukan begitu?
Kenop pintu berputar. Pintu
itu berderit mulai terbuka. "Hei -" teriakku, tapi kata itu tercekat
di tenggorokanku.
Paman Ben harusnya mengetuk.
Dia tak akan hanya masuk sembarangan. Perlahan-lahan, perlahan-lahan, pintu
berderit membuka saat aku menatapnya, membeku di tengah-tengah ruangan, tak
dapat berteriak.
Berdiri di ambang pintu suatu bentuk bayangan
yang tinggi.
Aku terkesiap saat sosok itu
tiba-tiba bergerak ke dalam ruangan, dan aku melihatnya dengan jelas. Bahkan
dalam cahaya redup, aku bisa melihat apa itu.
Satu mumi!
Menatapku dengan mata hitam bundar melalui
lubang di perban tebal yang kuno.
Satu mumi!
Mendorong dirinya dari
dinding dan berjalan sempoyongan kaku ke arahku ke ruang tamu, lengannya
terentang seolah-olah berusaha untuk meraihku.
Aku membuka mulutku untuk berteriak, tapi tak
ada suara yang keluar.
3
Aku mundur selangkah, dan
lalu selangkah lagi. Tanpa sadar, aku mengangkat tangan mumi kecilku di udara,
seakan berusaha menangkis penyusup dengan itu.
Saat mumi itu
terhuyung-huyung ke dalam cahaya, aku menatap ke dalam mata gelap itu.
Dan mengenalinya.
"Paman Ben!" teriakku.
Dengan marah, aku lemparkan
tangan mumi itu padanya. Benda itu memukul dadanya yang dibalut perban dan
terpantul.
Ia roboh ke belakang dinding, tertawa dengan
tawa kerasnya.
Dan lalu aku melihat Sari
menjulurkan kepala di ambang pintu. Dia juga tertawa. Mereka berdua berpikir
itu lucu. Tapi hatiku berdebar begitu keras, kupikir akan meledak keluar dari
dadaku.
"Itu tak lucu!"
teriakku dengan marah, mengepalkan tanganku di pinggangku. Aku menarik napas
panjang, lalu bernapas lagi, mencoba untuk membuat napasku kembali normal.
"Sudah kubilang dia
akan takut," kata Sari, berjalan ke kamar, seringai besar kemenangan
tampak di wajahnya.
Paman Ben tertawa begitu
keras, air matanya mengalir di wajahnya yang diperban. Dia seorang pria besar,
tinggi dan kasar, dan tawanya mengguncang ruangan. "Kau tak sebegitu takut
- kan, Gabe?"
"Aku tahu itu
kau," kataku, hatiku masih berdebar-debar seolah-olah suatu mainan
terakhir seseorang yang rusak sangat berat. "Aku segera mengenalimu."
"Kau tampak begitu ketakutan,"
desak Sari.
"Aku tak ingin merusak
lelucon," jawabku, bertanya-tanya apakah mereka bisa melihat betapa aku
benar-benar takut.
"Kau seharusnya melihat
ekspresi wajahmu!" teriak Paman Ben dan mulai tertawa lagi. "Aku
bilang Ayah, ia tak seharusnya berbuat itu," kata Sari, menjatuhkan dirinya
ke sofa. "Aku heran orang-orang hotel yang membiarkannya datang berpakaian
seperti itu."
Paman Ben membungkuk dan
mengangkat tangan mumi yang telah kulemparkan padanya. "Kau menggunakannya
untukku dan praktek leluconku, benar kan Gabe?" "Ya," kataku,
menghindari matanya.
Diam-diam, aku memarahi
diriku sendiri karena tertipu kostum konyolnya itu. Aku selalu jadi korban
lelucon bodohnya. Selalu. Dan, sekarang, ada Sari nyengir padaku dari sofa,
mengetahui aku sangat takut sehingga aku dibilang pengecut.
Paman Ben menarik beberapa
perban dari wajahnya. Dia melangkah dan menyerahkan tangan mumi kecil itu
kembali padaku.
"Dari mana kau
mendapatkannya?" tanyanya. "Bengkel lelang," kataku.
Aku mulai bertanya apakah
itu asli, tapi dia mengelilingiku dalam pelukan beruang besar. Kasa itu terasa
kasar dipipiku.
"Senang bertemu
denganmu, Gabe," katanya pelan. "Kau sudah tumbuh lebih tinggi."
"Hampir setinggi aku," seru Sari setuju.
Paman Ben menunjuk padanya.
"Bangun dan bantu aku menarik ini." "Aku agak suka caramu
melihat dari dalamnya," kata Sari.
"Ke sini," desak Paman Ben.
Sari bangkit sambil menghela
napas, melemparkan rambut lurus hitam di balik bahunya. Dia berjalan ke ayahnya
dan mulai mencopoti perban.
"Aku agak sedikit
terbawa dengan hal mumi ini, Gabe," aku Paman Ben, menyandarkan lengannya
di atas bahuku saat Sari meneruskan pekerjaannya. "Tapi itu hanya karena
aku sangat bersemangat tentang apa yang terjadi di piramida."
"Apa yang terjadi?" tanyaku penuh
semangat.
"Ayah menemukan sebuah
ruang pemakaman yang baru sekali," sela Sari sebelum ayahnya sempat
memberitahuku sendiri. "Dia menjelajahi bagian dari piramida yang belum
ditemukan selama ribuan tahun."
"Sungguh?" teriakku. "Itu luar
biasa!"
Paman Ben terkekeh. "Tunggu sampai kau
melihatnya."
"Melihatnya?" Aku
tak yakin apa maksudnya. "Maksud Anda, Anda akan membawaku ke
piramida?"
Suaraku begitu tinggi hingga
hanya anjing yang bisa mendengarnya. Tapi aku tak peduli. Aku tak bisa
mempercayai keberuntunganku. Aku akan benar-benar masuk ke dalam Piramida
Besar, ke salah satu bagian yang belum ditemukan hingga sekarang.
"Aku tak punya
pilihan," kata Paman Ben datar. "Apa lagi yang akan kulakukan dengan
kalian berdua?"
"Apakah ada mumi di
sana?" tanyaku. "Apakah kita akan melihat mumi yang asli?"
"Apakah kau merindukan ibumu (your mummy)?" kata Sari, satu lagi ide
lelucon bodohnya.
Aku mengabaikannya.
"Apa ada harta karun di bawah sana Paman Ben? Peninggalan Mesir kuno? Apakah
ada lukisan dinding?"
"Kita bicarakan tentang
hal itu saat makan malam," katanya, menarik perban terakhir. Dia
mengenakan kaos olahraga kotak-kotak dan celana longgar di balik kain kasa.
"Ayo. Aku kelaparan."
"Ayo balapan ke
bawah," kata Sari, dan mendorongku keluar dari jalan untuk memberikan
dirinya awal yang baik untuk start keluar dari ruangan.
***
Kami makan di restoran hotel
di lantai bawah. Ada lukisan pohon-pohon palem di dinding, dan pohon palem mini
yang ditanam di pot-pot besar di seluruh restoran. Kipas angin besar di
langit-langit kayu berputar perlahan-lahan di atas kepala.
Kami bertiga duduk di tempat
yang besar, Sari dan aku di seberang Paman Ben. Kami mempelajari menu yang
panjang. Menu-menu itu dicetak dalam bahasa Arab dan Inggris.
"Dengarkan ini,
Gabe," kata Sari, suatu senyum kepuasan (tampak) di wajahnya. Dia mulai
membaca kata-kata Arab dengan keras.
Pamer sekali.
Pelayan berseragam putih
membawa sekeranjang roti datar berlubang-lubang dan semangkuk benda hijau untuk
mencelupkan roti itu ke dalamnya. Aku memesan sandwich dan kentang goreng. Sari
memesan hamburger.
Lalu, saat kami memakan
makan malam kami, Paman Ben menjelaskan sedikit lebih banyak tentang apa yang
telah ditemukan di piramida. "Seperti yang mungkin kau tahu,"
mulainya, merobek segumpal roti datar, "Piramida itu dibangun di suatu
waktu sekitar 2500 SM, pada masa pemerintahan Firaun Khufu."
"Gesundheit (Salam sejahtera),"
kata Sari. Lelucon bodoh lainnya.
(gesundheit = mendoakan
kesehatan yang baik khususnya bagi orang yang bersin-pen) Ayahnya tertawa. Aku
menyeringai padanya.
"Piramida adalah
bangunan terbesar waktu itu," kata Paman Ben. "Apa kau tahu seberapa
lebar dasar piramida itu?"
Sari
menggeleng. "Tidak. Seberapa lebar?" tanyanya dengan mulut penuh
hamburger.
"Aku tahu!"
kataku, sambil menyeringai. "Luasnya tiga belas hektar."
"Hei -
itu benar!" seru Paman Ben, jelas terkesan.
Sari melihatku sekilas, dengan pandangan
terkejut.
Ini satu untukku! Pikirku
gembira, menjulurkan lidahku padanya. Dan satu lagi untuk buku panduan ayahku.
"Piramida ini dibangun
sebagai tempat pemakaman kerajaan," Paman Ben berlagak, ekspresi wajahnya
berubah serius. Firaun membuatnya menjadi sangat besar sehingga ruang pemakaman
bisa disembunyikan. Orang-orang Mesir khawatir tentang perampok - perampok
makam. Mereka tahu orang-orang itu akan mencoba untuk membongkarnya, mengambil
semua perhiasan berharga dan harta karun yang dikuburkan bersama pemiliknya.
Jadi mereka membangun puluhan terowongan dan ruangan di dalamnya, suatu labirin
yang membingungkan untuk menghalangi perampok dari menemukan ruang penguburan
yang sesungguhnya. "
"Tolong ambilkan saus tomatnya,"
sela Sari. Aku memberinya saus tomat.
"Sari telah mendengar
semua ini sebelumnya," kata Paman Ben, mencelupkan roti berlubang ke dalam
kuah yang gelap di piringnya. "Pokoknya, kami para arkeolog berpikir bahwa
kami tak akan menemukan semua terowongan dan ruangan di dalam piramida ini,
Tapi beberapa hari lalu, para pekerjaku dan aku menemukan satu terowongan yang
tak ada di peta manapun. Satu terowongan, yang belum pernah diselidiki, belum
pernah ditemukan. Dan kami pikir terowongan ini dapat membawa kami ke ruang
pemakaman yang sebenarnya dari Khufu sendiri! "
"Luar biasa!"
teriakku. "Sari dan aku akan berada di sana ketika Anda
menemukannya?" Paman Ben terkekeh. "Aku tak tahu tentang itu, Gabe.
Ini bisa perlu waktu bertahun-tahun untuk penjelajahan yang hati-hati. Tapi
besok aku akan membawamu ke dalam terowongan. Lalu kau bisa memberitahu
teman-temanmu bahwa kau benar-benar di dalam piramida kuno Khufu."
"Aku sudah berada di
dalamnya," Sari menyombongkan (diri). Matanya berpaling padaku.
"Tempat itu sangat gelap. Kau mungkin akan merasa ketakutan."
"Tidak, aku tak akan," desakku. "Tidak mungkin."
***
Kami bertiga menghabiskan
malam itu di kamar hotel orangtuaku. Aku perlu waktu beberapa jam untuk bisa
tidur. Kukira aku sangat senang akan pergi ke piramida. Aku terus membayangkan
bahwa kami menemukan mumi, peti besar perhiasan kuno dan harta karun.
Paman Ben membangunkan kami
pagi-pagi di pagi berikutnya, dan kami berkendaraan ke piramida di luar
al-Jizah. Udara sudah panas dan lengket. Matahari tampak menggantung rendah di
atas padang pasir seperti sebuah balon oranye.
"Di sana!" Sari
menyatakan, menunjuk ke luar jendela. Dan aku melihat Piramida Besar menjulang
tinggi dari pasir kuning seperti semacam fatamorgana.
Paman Ben menunjukkan izin
khusus pada penjaga berseragam biru, dan kami mengikuti jalan khusus yang
sempit melengkung melalui pasir di belakang piramida. Kami parkir di samping
mobil-mobil dan van-van lainnya dalam bayangan abu-abu kebiruan piramida.
Saat aku melangkah keluar
dari mobil, dadaku berdebar-debar gembira. Aku menatap, batu -batu besar tua
dari Piramida Besar. Usianya lebih dari empat
ribu tahun, pikirku. Aku akan masuk ke dalam sesuatu yang dibangun empat ribu
tahun yang lalu!
"Sepatumu tak terikat," kata Sari
sambil menunjuk.
Dia benar-benar tahu
bagaimana caranya membawa seseorang kembali lagi ke bumi. Aku membungkuk di
pasir untuk mengikat sepatuku. Untuk suatu alasan, yang sebelah kiri selalu
lepas ikatannya, bahkan ketika aku menyimpulkannya dua kali.
"Para pekerjaku sudah di dalam,"
kata Paman Ben pada kami. "Sekarang, tetap dekat bersama-sama, oke? Jangan
berkeliaran. Terowongan-terowongan ini benar-benar seperti labirin. Sangat
mudah untuk tersesat."
"Tak masalah,"
kataku, suaraku gemetar mengungkapkan betapa gugup dan bersemangatnya aku.
"Jangan khawatir. Aku akan terus
mengawasi Gabe, Ayah," kata Sari.
Dia hanya dua bulan lebih
tua dariku. Mengapa dia harus bertindak seperti dia pengasuhku?
Paman Ben menyerahkan pada
kami dua senter. "Jepitkan itu ke celana kalian saat kita masuk ke
dalam," perintahnya. Dia menatapku. "Kau tak percaya pada kutukan
kan? Kau tahu semacam orang Mesir kuno."
Aku tak tahu bagaimana menjawab, jadi aku
menggeleng.
"Bagus," jawab
Paman Ben, menyeringai. "Karena salah satu pekerjaku mengatakan kita telah
melanggar dekrit (ketetapan) kuno dengan memasuki terowongan baru ini, dan kita
telah mengaktifkan beberapa kutukan."
"Kami tak takut,"
kata Sari, memberinya dorongan main-main menuju pintu masuk. "Pergilah,
Yah."
Dan beberapa detik kemudian,
kami melangkah ke dalam lubang persegi kecil potongan batu. Membungkuk rendah,
aku mengikuti mereka melalui satu terowongan sempit yang tampaknya miring turun
secara bertahap.
Paman Ben memimpin jalan,
menyinari tanah dengan senter halogen terang. Lantai piramida terasa lembut dan
berpasir. Udaranya dingin dan lembab.
"Dinding granit,"
kata Paman Ben, berhenti untuk menggosok dengan satu tangannya di sepanjang
langit-langit rendah. "Semua terowongan terbuat dari batu kapur."
Suhu tiba-tiba turun. Udara
terasa bahkan lebih lembab. Aku tiba-tiba menyadari kenapa Paman Ben meminta
kami memakai kaus.
"Kalau kau takut, kita
bisa kembali," kata Sari. "Aku baik-baik saja," jawabku cepat.
Terowongan berakhir
tiba-tiba. Satu dinding kuning pucat berdiri di depan kami. Senter Paman Ben
melesat di atas sebuah lubang kecil yang gelap di lantai.
"Kita pergi ke
bawah," kata Ben, mengerang saat ia berlutut. Dia berbalik padaku.
"Karena takut tak ada tangga menuju terowongan baru itu para pekerjaku
memasang tangga tali. Kalian jangan terburu-buru di atasnya, perlahan-lahan,
satu anak tangga pada satu waktu, dan kalian akan baik-baik saja."
"Tak masalah," kataku. Tapi suaraku
pecah.
"Jangan lihat ke
bawah," saran Sari. "Ini mungkin akan membuatmu pusing, dan kau akan
jatuh."
"Terima kasih atas
dorongannya," kataku. Aku memaksakan jalanku melewatinya. "Aku akan
turun dulu," kataku. Aku sudah lelah akan aktingnya yang begitu sombong. Aku
putuskan untuk menunjukkannya, siapa yang berani dan siapa yang tidak.
"Tidak. Biarkan aku
pergi dulu," kata Paman Ben, mengangkat tangan untuk menghentikanku.
"Lalu aku akan menyorotkan sinar ke atas sampai di tangga dan membantu
kalian turun."
Sambil mengerang lain, ia
menggerakkan dirinya ke dalam lubang. Dia begitu besar, dan ia hampir tak pas.
Perlahan-lahan, ia mulai turun menuruni
tangga tali.
Sari dan aku membungkuk di
atas lubang dan mengintip ke bawah, mengamatinya turun. Tangga tali itu sangat
tidak stabil. Berayun bolak-balik karena berat badannya saat ia perlahan-lahan,
hati-hati, berjalan ke bawah.
"Jauh sekali di bawah," kataku
pelan.
Sari tak menjawab. Dalam
cahaya remang-remang, aku bisa melihat ekspresi kekhawatirannya. Dia menggigit
bibir bawahnya saat ayahnya tiba di lantai terowongan. Dia gugup juga.
Itu membuatku sangat gembira.
"Oke, aku turun. Kau berikutnya,
Gabe," panggil Paman Ben kepadaku.
"Menemukan kotak mumi di
dalam suatu ruangan kecil. Salah satu yang indah dalam kondisi sempurna..
"
"Apa ada mumi di
dalamnya?" tanyaku penuh semangat. Aku sangat ingin melihat mumi. Museum
yang ada di rumah hanya punya satu. Aku telah menatapnya dan mempelajari itu
semua hidupku.
"Tidak itu kosong," jawab Sari.
"Mengapa mumi tak
memiliki hobi?" tanya Paman Ben, berhenti tiba-tiba. "Aku tak
tahu," jawabku.
"Dia terlalu sibuk
dengan pekerjaannya!" seru Paman Ben. Dia tertawa mendengar leluconnya
sendiri. Sari dan aku hanya bisa mengeluarkan senyuman lemah. "Jangan
membesarkan hatinya," kata Sari padaku, cukup keras untuk ayahnya untuk
mendengar. "Dia tahu satu juta lelucon mumi, dan mereka semua sama
buruknya."
"Tunggu. Hanya
sebentar," kataku. Aku membungkuk untuk mengikat sepatuku, yang telah
terlepas lagi.
Terowongan itu melengkung,
kemudian bercabang menjadi dua terowongan. Paman Ben memimpin kita melalui satu
terowongan di sebelah kiri, yang begitu sempit hingga kami harus merapatkan
(tubuh kami) melaluinya, kami berjalan ke samping, kepala membungkuk, sampai
terowongan itu melebar ke dalam satu ruangan besar berlangit-langit tinggi.
Aku berdiri tegak dan
meregang. Rasanya begitu enak tak meringkuk. Aku menatap sekeliling ruang besar
itu.
Beberapa orang mulai
terlihat di dinding yang jauh, bekerja dengan alat penggali. Lampu sorot terang
telah digantung di atas mereka di dinding, dekat pada suatu generator portabel.
Paman Ben membawa kami
kepada mereka dan memperkenalkan kami. Ada empat pekerja, dua pria dan dua
wanita.
Seorang pria lain berdiri di
samping, dengan papan tulis di tangannya. Dia orang Mesir, berpakaian serba
putih kecuali syal merah di lehernya. Dia berambut hitam lurus, licin bawah dan
diikat seperti ekor kuda di belakang kepala. Ia menatap Sari dan aku, tapi tak
datang. Tampaknya dia mempelajari kami.
"Ahmed, kau telah
bertemu dengan putriku kemarin. Ini adalah Gabe, keponakanku," seru Paman
Ben padanya.
Ahmed mengangguk, tapi tak tersenyum atau
mengatakan apa-apa.
"Ahmed dari
universitas," kata Paman Ben kepadaku dengan suara pelan. "Dia
meminta izin untuk mengamati kami, dan aku bilang oke. Dia sangat pendiam. Tapi
jangan membuatnya memulai tentang kutukan kuno. Dialah yang selalu
memperingatkanku bahwa aku dalam bahaya mematikan."
Ahmed mengangguk, tapi tak
menjawab. Dia menatapku untuk waktu yang lama. Pria aneh, pikirku.
Aku bertanya-tanya apakah ia
akan memberitahuku tentang kutukan kuno. Aku suka cerita tentang kutukan kuno.
Paman Ben berpaling pada
para pekerjanya. "Jadi? Ada kemajuan hari ini?" dia bertanya.
"Kami pikir kita sudah semakin benar-benar dekat," seorang pria muda
berambut merah mengenakan celana jins pudar dan kemeja kerja tebal berwarna biru
menjawab. Dan kemudian ia menambahkan, "Hanya firasat."
Paman Ben mengerutkan kening. "Terima
kasih, Quasimodo," katanya.
Para pekerja semuanya
tertawa. Kurasa mereka menyukai lelucon Paman Ben. "Quasimodo adalah si
Bungkuk dari Notre Dame," jelas Sari kepadaku dengan nada sombongnya.
(Quasimodo salah satu tokoh
dalam buku karangan Victor Hugo: The Hunchback of Notre Dame-pen)
"Aku tahu, aku tahu," jawabku
kesal. "Aku mengerti."
"Kita bisa saja menuju
ke arah yang salah sama sekali," kata Paman Ben kepada para pekerjanya,
menggaruk bagian botak di bagian belakang kepalanya. "Terowongan itu mungkin berada di sana." Dia menunjuk ke
dinding di sebelah kanan.
"Tidak, kupikir kita
sudah dekat, Ben," seorang wanita muda, wajahnya kotor dengan debu, kata.
"Datanglah ke sini aku ingin menunjukkan sesuatu."
Dia membawanya ke tumpukan
batu besar dan reruntuhan. Dia menyorotkan lampunya ke tempat di mana dia
menunjuk. Lalu paman Ben membungkuk lebih dekat untuk memeriksa apa yang wanita
itu tunjukkan kepadanya.
"Ini sangat menarik,
Christy," kata Paman Ben, menggosok dagunya. Mereka terlibat ke dalam
diskusi yang panjang.
Setelah beberapa saat, tiga
pekerja lainnya memasuki ruangan, membawa sekop dan pencungkil-pencungkil.
Salah satunya membawa beberapa macam peralatan elektronik dalam kotak logam
datar. Ini terlihat sedikit mirip seperti komputer laptop.
Aku ingin bertanya pada
Paman Ben apa itu, tapi ia masih di sudut, yang terlibat dalam diskusi dengan
pekerja bernama Christy.
Sari dan aku berjalan
kembali ke arah pintu masuk terowongan. "Kupikir dia sudah lupa tentang
kita," kata Sari cemberut.
Aku setuju, menyorotkan
senterku ke atas sampai di langit-langit tinggi yang retak. "Begitu dia ke
sini dengan para pekerjanya, ia lupa segalanya kecuali pekerjaannya,"
katanya, mendesah.
"Aku tak percaya kita benar-benar di
dalam piramida!" Aku berseru.
Sari tertawa. Dia menendang
lantai dengan satu sepatu. "Lihat - kotoran kuno," katanya,
"Ya." Aku juga menendang beberapa tanah berpasir. "Aku ingin
tahu siapa dulu yang berjalan di sini. Mungkin seorang pendeta Mesir. Mungkin
seorang firaun (raja). Mereka mungkin telah berdiri di sini di tempat
ini."
"Ayo kita pergi
menjelajah," kata Sari tiba-tiba. "Hah?"
Matanya yang hitam
bersinar-sinar, dan ia terlihat benar-benar jahat di wajahnya. "Ayo kita
pergi, Gabey -. Mari kita periksa beberapa terowongan atau sesuatu (yang
lain)." "Jangan panggil aku Gabey," kataku. "Ayolah, Sari,
kau tahu aku benci itu."
"Maaf," dia cekikikan meminta maaf.
"Kau ikut?"
"Kita tak bisa,"
aku bersikeras, menonton Paman Ben. Dia sepertinya sedang beradu pendapat
dengan pekerja membawa benda yang tampak seperti laptop. "Ayahmu
mengatakan kita harus tetap bersama-sama. Dia mengatakan -."
"Dia akan sibuk di sini
selama berjam-jam," sela Shari, melirik ke arah ayahnya. "Dia bahkan
tak akan melihat kalau kita pergi. Sungguh.."
"Tapi, Sari -" Aku mulai.
"Selain itu,"
lanjutnya, meletakkan tangannya di bahuku dan mendorongku mundur ke arah pintu
ruangan, "Dia tak ingin kita berkeliaran di sekitarnya. Kita hanya akan di
jalanan."
"Sari -"
"Aku pergi menjelajah
kemarin," katanya, mendorongku dengan kedua tangan. "Kita tak akan
pergi jauh. Kau tak akan tersesat. Semua terowongan mengarah kembali ke ruangan
besar. Sungguh."
"Aku hanya tak berpikir
kita harus," kataku, mataku kepada Paman Ben. Dia turun di atas tangan dan
lututnya sekarang, menggali dinding dengan beberapa macam pencungkil.
"Lepaskan aku," kataku.
"Sungguh, aku -."
Dan kemudian dia mengatakan
apa yang aku tahu akan dikatakannya. Apa yang selalu dikatakannya saat dia
ingin mendapatkan keinginannya.
"Apakah kau pengecut (ayam)?"
"Tidak," aku bersikeras. "Kau
tahu ayahmu berkata -"
"Pengecut? Pengecut?
Pengecut?" Dia mulai berkotek-kotek seperti ayam. Benar-benar
menjengkelkan.
"Hentikan, Sari!" Aku coba untuk
terdengar keras dan mengancam.
Dia hanya menatapku.
Aku membuat suatu wajah
jijik. "Oke, oke. Ayo kita pergi menjelajah.," Kataku. Maksudku, apa
lagi yang bisa kukatakan?
"Tapi tak jauh," tambahku.
"Jangan khawatir,"
katanya, sambil menyeringai. "Kita tak akan tersesat aku hanya akan
menunjukkan beberapa terowongan yang kulihat kemarin. Salah satunya ada gambar
binatang aneh yang diukir di dindingnya. Kupikir itu semacam kucing. Aku tak
yakin . "
"Sungguh?" teriakku, langsung bersemangat. "Aku
pernah melihat gambar-gambar ukiran relief, tapi aku tak pernah -"
"Itu mungkin
kucing," kata Sari. "Atau mungkin orang dengan kepala hewan. Itu
benar-benar aneh."
"Dimana itu?"
tanyaku.
"Ikuti aku!"
Kami berdua memandang
sekilas kembali ke Paman Ben, yang turun pada tangan dan lututnya, menggali
jauh pada dinding batu.
Lalu aku mengikuti Sari keluar dari ruangan.
Kami menekankan (tubuh kami)
melalui terowongan sempit, lalu berbalik dan mengikuti satu terowongan sedikit
lebih lebar ke kanan. Aku ragu-ragu, beberapa langkah di belakangnya.
"Apakah kau yakin bisa kembali?" tanyaku, menjaga suaraku rendah
sehingga dia tak bisa menuduhku terdengar ketakutan.
"Tak masalah,"
jawabnya. "Terus jaga sinar sentermu ke lantai. Ada ruangan kecil di ujung
lain dari terowongan yang agak rapi."
Kami mengikuti terowongan
yang melengkung itu ke kanan. Terowongan itu bercabang menjadi dua lubang
rendah, dan Sari mengambil satu yang ke kiri.
Udara bertambah sedikit
lebih hangat. Baunya apak, seolah-olah ada orang yang telah merokok di sana.
Terowongan ini lebih luas
daripada yang lain. Sari berjalan lebih cepat sekarang, semakin jauh di
depanku. "Hei - tunggu dulu!" Teriakku.
Aku menunduk untuk melihat
bahwa sepatuku tak terikat lagi. Mengeluarkan erangan jengkel yang keras, aku
membungkuk untuk mengikatnya kembali.
"Hei, Sari, tunggu dulu!" Dia tampaknya tak mendengarku.
Aku bisa melihat cahaya di
kejauhan, semakin redup dalam terowongan. Lalu tiba-tiba menghilang. Apakah senternya padam? Tidak. Terowongan itu
mungkin melengkung, aku memutuskan. Dia cuma keluar dari pandanganku.
"Hei, Sari!" panggilku.
"Tunggulah! Tunggulah!"
Aku menatap ke depan ke
dalam terowongan gelap itu. "Sari?" Mengapa dia tak menjawabku?
"Sari!"
Suaraku bergema melalui
terowongan panjang melengkung. Tak ada jawaban. Aku memanggil lagi, dan
mendengarkan suaraku memudar saat gema mengulangi namanya lagi dan lagi.
Awalnya aku marah. Aku tahu apa yang Sari lakukan. Dia sengaja tak menjawab, sengaja mencoba
menakut-nakutiku. Dia harus membuktikan bahwa
dia adalah orang pemberani, dan aku adalah kucing penakut. Aku tiba-tiba teringat waktu
lain, beberapa tahun sebelumnya. Sari dan Paman Ben datang ke rumahku untuk
berkunjung. Kupikir Sari dan aku berumur tujuh atau delapan tahun.
Kami pergi keluar untuk
bermain. Hari itu mendung, terancam hujan. Sari punya lompat tali dan
memamerkannya, seperti biasa, menunjukkan padaku betapa baiknya dia dalam hal
itu. Kemudian, tentu saja, ketika dia membiarkanku mencobanya, aku tersandung
dan jatuh, dan dia tertawa seperti orang gila.
Aku memutuskan untuk
membalasnya dengan membawanya ke rumah tua yang kosong itu beberapa blok dari
jalan. Semua anak -anak di lingkungan itu percaya rumah itu berhantu. Ini
adalah tempat yang sangat bagus untuk menyelinap masuk dan menjelajah, meskipun
orang tua kami selalu memperingatkan kami untuk menjauh dari rumah itu karena
berantakan dan berbahaya.
Jadi aku memimpin Sari ke
rumah iti dan mengatakan rumah itu berhantu. Dan kami menyelinap masuk melalui
jendela ruang bawah tanah yang rusak. Saat itu (keadaan di) luar
lebih gelap, dan mulai hujan. Sempurna. Aku tahu Sari benar-benar takut
sendirian di rumah tua yang menyeramkan itu. Aku, tentu saja, tak takut sama
sekali karena aku pernah di sana sebelumnya.
Yah, kami mulai menjelajah,
dengan pimpinanku. Dan entah bagaimana kami terpisah. Dan saat itu di luar
mulai bergemuruh dan kilat. Hujan deras masuk melalui jendela pecah.
Aku putuskan mungkin kami
harus pulang. Jadi aku memanggil Sari. Tak ada jawaban. Kupanggil lagi. Masih
tak ada jawaban.
Lalu aku mendengar dentuman keras.
Sambil memanggil namanya,
aku mulai berlari dari kamar ke kamar. Aku ketakutan setengah mati. Aku yakin
sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Aku berlari melalui setiap
ruang dalam rumah, semakin takut. Aku tak bisa menemukannya. Aku berteriak dan
berteriak, tapi ia tak menjawab.
Aku sangat takut, aku mulai
menangis. Lalu aku benar-benar panik, dan aku berlari keluar rumah dan masuk ke
curahan hujan.
Aku berlari melalui guntur
dan kilat, berteriak-teriak sepanjang jalan pulang. Saat aku pulang, aku basah
kuyup dan terus. Aku berlari ke dapur,
terisak-isak dan menangis bahwa aku kehilangan Sari di rumah hantu.
Dan disanalah dia. Duduk di
meja dapur. Nyaman dan kering. Makan sepotong besar kue cokelat. Satu senyum
kepuasan tampak di wajahnya.
Dan sekarang, mengintip ke
dalam kegelapan piramida, aku tahu Sari melakukan hal yang sama kepada. Mencoba untuk
menakut-nakutiku. Mencoba untuk membuatku terlihat buruk. Atau dia?
Saat aku berjalan melewati
terowongan, rendah sempit, menjaga cahaya tertuju lurus ke depan, aku tak bisa
menahannya. Kemarahanku dengan cepat berubah menjadi kekhawatiran, dan
pertanyaan-pertanyaaan yang mengganggu berputar di benakku. Bagaimana jika dia tak
bermaksud memainkan tipu muslihat padaku?
Bagaimana jika sesuatu yang
buruk telah terjadi padanya? Bagaimana jika dia salah langkah dan jatuh ke
dalam lubang?
Atau telah mendapatkan
dirinya terperangkap di sebuah terowongan yang tersembunyi?
Atau. . . Aku tak tahu apa.
Aku tak bisa berpikir jernih. Sepatuku berdebam keras di
lantai berpasir saat aku mulai setengah berjalan setengah berlari melalui
terowongan berliku.
"Sari?" panggilku
dengan panik sekarang, tak peduli apakah aku terdengar takut atau tidak.
Di mana dia?
Dia tak terlalu jauh di
depanku. Aku setidaknya harus mampu melihat cahaya dari senter, pikirku.
"Sari?"
Tak ada tempat baginya untuk
bersembunyi di ruang sempit itu. Apa aku mengikuti terowongan yang salah?
Tidak!
Aku telah berada di
terowongan yang sama sepanjang jalan. Terowongan yang sama di mana aku telah
menyaksikannya menghilang masuk
Jangan katakan hilang, aku
memarahi diriku sendiri. Jangan bahkan berpikir kata itu. Tiba-tiba lorong
sempit itu berakhir. Sebuah lubang kecil menuju ke suatu ruangan kecil persegi.
Aku menyorotkan senter dengan cepat dari satu sisi ke sisi lainnya.
"Sari?" Tak ada tanda-tanda keberadaannya.
Dinding-dindingnya yang
kosong. Udara hangat dan apek. Aku pindahkan cahaya senter dengan cepat di
seluruh lantai, mencari jejak kaki Sari itu. Lantainya keras, kurang berpasir
di sini. Tak ada jejak kaki.
"Oh!"
Aku menjerit pelan saat
cahaya senterku berakhir pada benda di dinding yang jauh. Hatiku berdebar,
dengan bersemangat aku melangkah lebih dekat sampai aku hanya beberapa meter
dari itu.
Itu adalah peti mumi!
Satu peti besar mumi dari batu, setidaknya
delapan meter.
Peti itu persegi panjang,
dengan sudut-sudut yang melengkung. Tutupnya diukir. Aku mendekat dan
mengarahkan cahaya.
Ya.
Satu wajah manusia terukir
pada tutupnya. Wajah seorang wanita. Ini tampak seperti topeng kematian,
semacam yang pernah kami pelajari di sekolah. Topeng itu dengan mata terbelalak
menatap langit-langit.
"Wow!" Aku berteriak keras-keras.
Satu peti mumi yang asli.
Ukiran wajah di tutupnya
mestinya telah dicat cerah pada satu waktu. Tapi warnanya telah memudar selama
berabad-abad. Sekarang wajah itu kelabu, pucat seperti kematian. Menatap bagian atas peti
ini, halus dan sempurna, aku bertanya-tanya apakah Paman Ben sudah melihatnya.
Atau aku telah membuat penemuanku sendiri. Mengapa semua itu ada dengan
sendirinya dalam kamar kecil ini? Aku bertanya-tanya. Dan apa itu yang
tersimpan di dalamnya? Aku membangkitkan
keberanianku untuk menggerakkan tanganku ke atas tutup batu yang halus itu
ketika aku mendengar suara berderit.
Dan melihat tutup itu mulai
terangkat. "Oh!" teriakan kecil keluar dari bibirku.
Pada awalnya kupikir aku
hanya membayangkan hal itu. Aku tak bergerak sedikit pun. Aku menjaga cahaya
senter terarah ke tutupnya. Tutupnya terangkat sedikit lagi.
Dan aku mendengar suara
mendesis datang dari dalam peti mati besar itu, seperti udara yang keluar dari
teko kopi baru saat pertama kali kau membukanya.
Dengan mengeluarkan teriakan
pelan lainnya, aku mundur selangkah lagi. Tutup itu terangkat beberapa inci
lagi. Aku
mundur selangkah lagi. Dan menjatuhkan senter. Aku mengambilnya dengan
tangan gemetar dan menyoroti lagi peti mumi itu. Tutup itu sekarang telah
terbuka hampir satu kaki. Aku menarik napas dari udara
dalam-dalam dan menahannya. Aku ingin lari, tapi rasa takutku membuatku membeku
di tempat.
Aku ingin berteriak, tapi
aku tahu aku tak akan mampu mengeluarkan suara. Tutup itu berderit dan membuka
seinci lagi.
Seinci lagi!
Aku merendahkan senter ke lubang itu,
cahayanya bergetar dengan tanganku. Dari kedalaman yang gelap dari peti kuno itu,
aku melihat dua mata menatap ke arahku.
6
Aku terkesiap diam. Aku
membeku.
Aku merasakan hawa udara
dingin zigzag (berliku-liku) ke punggungku. Tutup itu perlahan-lahan terbuka
seinci lagi. Mata itu menatap ke arahku.
Mata yang dingin. Mata yang jahat. Mata yang kuno.
Mulutku ternganga. Dan
bahkan sebelum aku menyadarinya, aku mulai menjerit. Teriakan di bagian atas
paru-paruku.
Saat aku berteriak, aku tak
bisa berpaling, tak mampu berlari, tak bisa bergerak, tutup itu bergeser
terbuka seluruhnya.
Perlahan-lahan, seolah-olah
dalam mimpi, satu sosok gelap bangkit sendiri dari dalam peti mumi itu dan
keluar.
"Sari!"
Suatu senyum lebar melintas di wajahnya.
Matanya bersinar gembira.
"Sari - itu tak
lucu!" Aku berhasil berteriak dengan suara bernada tinggi yang memantul ke
dinding batu.
Tapi sekarang dia tertawa
terlalu keras untuk mendengarku. Tawa keras, mengejek.
Aku begitu marah, dengan
kalut aku mencari sesuatu untuk kulemparkan padanya. Tapi ada tak apa-apa,
bahkan tak ada sebutir kerikil pun di lantai. Menatapnya, dadaku masih
sesak karena ketakutanku, aku benar-benar membencinya setelah itu. Dia telah
membuatku benar-benar bodoh. Aku telah berteriak seperti bayi. Aku tahu ia tak
akan membiarkan hidupku beruntung.
Tak pernah.
"Wajahmu!" serunya
ketika akhirnya dia berhenti tertawa. "Kuharap aku punya kamera."
Aku terlalu marah untuk menjawab. Aku hanya
menggeram padanya. Aku menarik tangan mumi
kecil dari saku belakangku dan mulai menggulungnya di dalam tanganku. Aku
selalu bermain-main dengan tangan itu saat aku marah. Ini biasanya membantu
menenangkanku.
Tapi sekarang aku merasa seolah-olah aku tak
akan pernah tenang.
"Aku bilang padamu
bahwa kemarin aku telah menemukan satu peti mumi yang kosong," katanya,
menyikat rambut ke belakang wajahnya. "Apa kau tak ingat?" Aku
menggeram lagi.
Aku merasa seperti benar-benar bodoh.
Pertama aku tertipu kostum mumi bodoh
ayahnya. Dan sekarang ini.
Diam-diam aku bersumpah pada
diriku sendiri akan membayarnya kembali. Meskipun itu adalah hal terakhir yang
aku lakukan. Dia masih tertawa tentang
lelucon besarnya. "Ekspresi wajahmu," katanya lagi, sambil menggeleng
kepalanya. Menggosok-gosoknya. "Kau juga tak akan suka
kalau aku menakut-nakutimu," gumamku marah. "Kau tak akan bisa
menakut-nakutiku," jawabnya. "Aku tak akan begitu mudah
ketakutan."
"Hah!"
Itu jawaban terbaik yang
bisa kupikirkan. Aku tahu tak terlalu pintar. Tapi aku terlalu marah untuk
menjadi pintar.
Aku membayangkan diriku
mengangkat Sari dan melemparkannya kembali ke dalam peti mumi, merobohkan
tutupnya, dan menguncinya - ketika aku mendengar langkah - langkah kaki
mendekat di dalam terowongan.
Melirik Sari, aku melihat
ekspresi wajahnya berubah. Dia juga mendengarnya. Beberapa detik kemudian,
Paman Ben menghambur masuk ke ruangan kecil itu. Aku bisa melihat langsung,
bahkan dalam cahaya redup, bahwa ia benar-benar marah. "Kupikir aku bisa
mempercayai kalian berdua," katanya, berbicara dengan gigi terkatup.
"Ayah -" Sari mulai.
Tapi ia memotongnya tajam.
"Aku mempercayaimu untuk tak berkeliaran tanpa memberitahuku. Apa kau tahu
bagaimana mudahnya untuk tersesat di tempat ini? Tersesat selamanya?"
"Ayah," Sari mulai
lagi. "Aku hanya menunjukkan Gabe ruangan ini yang kutemukan kemarin. Kami
akan segera kembali. Sungguh."
"Ada ratusan
terowongan," kata Paman Ben panas, mengabaikan penjelasan Sari itu.
"Mungkin ribuan .Banyak dari terowongan-terowongan itu belum pernah
dijelajahi. Tak seorang pun pernah berada di bagian piramida ini. Kita tak tahu
bahaya apa yang ada di sana. Kalian berdua tak bisa berkeliaran begitu saja
sendirian. Apa kalian tahu bagaimana paniknya aku ketika aku berbalik dan kalian
sudah tak ada? "
"Maaf," kata Sari dan aku sama-sama
serempak.
"Ayo pergi," kata
Paman Ben, menunjuk ke pintu dengan senternya. "Kunjungan piramida kalian
sudah berakhir untuk hari ini." Kami mengikutinya ke dalam
terowongan. Aku merasa benar-benar buruk. Aku tak hanya terkena lelucon bodoh
Sari, tapi aku telah membuat paman favoritku benar-benar marah.
Sari selalu membuatku
kesulitan, pikirku pahit. Sejak kami masih anak kecil. Sekarang ia berjalan di
depanku, bergandengan tangan dengan ayahnya, menceritakan sesuatu kepadanya, wajahnya
dekat telinga. Tiba-tiba mereka berdua tertawa terbahak-bahak dan berbalik
untuk menatapku.
Aku bisa merasakan wajahku
mulai panas. Aku tahu apa yang diceritakannya kepadanya. Dia bercerita tentang
bersembunyi dalam peti mumi dan membuat aku menjerit ketakutan seperti bayi.
Dan sekarang mereka berdua tertawa tentang betapa brengseknya aku.
"Selamat Natal juga
kepada kalian!"teriakku pahit. Dan itu membuat mereka tertawa bahkan lebih
keras.
***
Kami menghabiskan malam
kembali di hotel di Kairo. Aku mengalahkan Sari dalam dua game Scrabble secara
langsung, tapi itu tak membuatku merasa lebih baik. (Scrabble = permainan
menyusun kata dari biji-biji huruf pada papan permainan berkotak-kotak, 15 baris
15 kolom-pen). Dia terus mengeluh bahwa ia
hanya dapat vokal saja, sehingga permainan itu tak adil. Akhirnya, aku
menempatkan perlengkapan Scrabbleku kembali di kamarku, dan kami duduk dan
menatap TV.
***
Keesokan paginya, kami
sarapan di dalam kamar. Aku memesan kue dadar, tetapi tak terasa seperti kue
dadar manapun yang pernah kumakan. Kue itu alot dan kasar, seolah-olah terbuat
dari kulit sapi atau sesuatu lainnya.
"Apa yang kita lakukan
hari ini?" tanya Sari kepada Paman Ben, yang masih menguap dan meregang
setelah dua cangkir kopi hitam.
"Aku ada janji di
Museum Kairo," katanya kepada kami, melirik arlojinya. "Ini hanya
beberapa blok jauhnya Kupikir kalian mungkin ingin berkeliling museum sementara
aku mengadakan pertemuanku.."
"Ooh, betapa
menggairahkan dan mengerikan," kata Sari sinis. Dia menghirup sesendok
lagi Frosted Flakes.
(Frosted Flake = sereal
untuk sarapan yang diproduksi perusahaan Kellog berkomposisi dari gula dan
jagung. Maskotnya adalah macan bernama Tony)
Kotak Frosted Flakes kecil
itu ada tulisan bahasa Arab di atasnya, dan Tony si Macan mengatakan sesuatu
dalam bahasa Arab. Aku ingin menyimpannya dan membawanya pulang untuk
menunjukkannya kepada teman-temanku. Tapi aku tahu Sari akan mengolok-olokku
jika aku meminta kotak itu kepadanya, jadi aku tak melakukannya. "Museum
ini memiliki koleksi mumi yang menarik, Gabe," kata Paman Ben kepadaku.
Dia mencoba untuk menuangkan secangkir kopi ketiga, namun teko itu kosong.
"Kau akan menyukainya."
"Kecuali mereka keluar
dari peti-peti mereka," kata Sari. Bodoh. Benar-benar bodoh.
Aku menjulurkan lidahku
padanya. Dia melemparkan Frosted Flake basah itu kepadaku menyeberangi meja.
"Kapan ibu dan ayahku
kembali?" tanyaku pada Paman Ben. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku
merindukan mereka. Dia mulai menjawab, tapi
telepon berdering. Dia berjalan ke kamar tidur dan mengangkatnya. Itu adalah
telepon hitam model kuno dengan putaran angka bukan tombol. Saat dia berbicara,
wajahnya penuh dengan keprihatinan.
"Perubahan
rencana," katanya beberapa detik kemudian, menggantung gagang telepon dan
kembali ke ruang tamu.
"Ada apa, Ayah?" tanya Sari,
mendorong mangkuk sereal pergi.
"Ini sangat aneh,"
jawabnya, menggaruk belakang kepalanya. "Dua pekerjaku jatuh sakit
semalam. Semacam penyakit misterius." Ekspresinya jadi berpikir, khawatir.
"Mereka membawa keduanya ke sebuah rumah sakit di Kairo."
Dia mulai mengumpulkan
dompet dan beberapa barang-barang lain. "Kupikir lebih baik aku segera ke
sana," katanya.
"Tapi bagaimana dengan Gabe dan
aku?" tanya Sari, melirikku.
"Aku hanya akan pergi
satu jam atau lebih," jawab ayahnya. "Tinggallah di sini dalam
ruangan, oke?"
"Di dalam ruangan?" teriak Sari,
membuatnya terdengar seperti hukuman.
"Yah, baiklah. Kalian
bisa pergi ke lobi, jika kalian ingin. Tapi jangan meninggalkan hotel."
Beberapa menit kemudian, ia
menarik jaket safari cokelatnya, memeriksa untuk terakhir kali untuk memastikan
bahwa dompet dan kuncinya ada, dan bergegas keluar pintu. Sari dan aku saling
menatap muram satu sama lainnya.
"Apa yang ingin kau
lakukan?" tanyaku, menusuk kue dadar dingin yang tak dimakan di piringku
dengan garpu.
Sari mengangkat bahu. "Apakah panas di
sini?"
Aku mengangguk. "Ya.
Ini sekitar seratus dua puluh derajat." "Kita harus keluar dari
sini," katanya, berdiri dan meregang.
"Maksudmu turun ke
lobi?" tanyaku, masih menusuk kue dadar, menariknya menjadi
potongan-potongan dengan garpu.
"Tidak. Maksudku keluar
dari sini," jawabnya. Dia berjalan ke cermin di pintu masuk dan mulai
menyikat lurus, rambut hitam.
"Tapi Paman Ben berkata -" aku
mulai.
"Kita tak akan pergi
jauh," katanya, dan kemudian cepat-cepat menambahkan, "jika kau
takut."
Aku menyeringai padanya. Aku
tak berpikir dia melihatku. Dia sedang sibuk mengagumi dirinya di cermin.
"Oke," kataku.
"Kita bisa pergi ke museum. Ayahmu mengatakan itu hanya satu blok
jauhnya."
Aku bertekad untuk tak
menjadi pengecut lagi. Jika dia tak ingin mematuhi ayahnya dan pergi keluar,
tak apa-apa bagiku. Mulai sekarang, aku memutuskan, aku akan menjadi pria
macho. Tak mengulangi (peristiwa) kemarin lagi.
"Museum itu?" Dia
menyeringai. "Yah... Oke," katanya, berbalik untuk menatapku.
"Ingat kita sudah dua belas tahun. Tak seperti saat kita masih bayi. Kita
bisa pergi keluar kalau kita mau."
"Ya, kita bisa,"
kataku. "Aku akan menulis Paman Ben catatan dan mengatakan padanya di mana
kita akan pergi, jika dia kembali sebelum kita." Aku pergi ke meja dan
mengambil sebuah pena dan sebuah buku kecil dari kertas.
"Jika kau takut, Gabey,
kita bisa berjalan saja di sekitar blok ini," katanya dengan suara
menggoda, menatapku, menunggu untuk melihat bagaimana reaksiku.
"Tidak," kataku.
"Kita akan ke museum Kecuali kau takut.." "Tidak," katanya,
meniruku.
"Dan jangan panggil aku Gabey,"
tambahku.
"Gabey, Gabey, Gabey," gumamnya,
hanya untuk mengganggu.
Aku menulis catatan ke Paman
Ben. Kemudian kami pergi ke lift turun ke lobi. Kami bertanya wanita muda yang
ada di belakang meja di mana Museum Kairo. Dia berkata untuk berbelok ke kanan
di luar hotel dan berjalan dua blok. Sari ragu-ragu saat kami
melangkah keluar di bawah sinar matahari cerah. "Kau yakin kau siap untuk
ini?"
"Apa yang salah?" jawabku.
7
"Ayo kita pergi. Ke
arah sini," kataku, melindungi mataku dari terangnya sinar matahari dengan
tanganku.
"Panas sekali," keluh Sari.
Jalan itu penuh sesak dan
berisik. Aku tak bisa mendengar apa-apa di atas suara klakson mobil. Sopir-sopir di sini bersandar
pada klakson di menit mereka memulai mobilnya, dan mereka tak berhenti
membunyikan klakson sampai mereka tiba di tujuannya. Sari dan aku tetap dekat
bersama-sama, kami berjalan melalui kerumunan orang di trotoar. Semua macam
orang lewat. Ada orang-orang di setelan
bisnis gaya Amerika berjalan berdampingan dengan pria yang tampak mengenakan
piyama longgar putih. Kami melihat wanita-wanita
yang akan terlihat tepat di rumah pada setiap jalan di Amerika, memakai
pembalut kaki berwarna-warni, rok bergaya dan celana panjang. Wanita-wanita
bercelana jeans. Diikuti oleh wanita-wanita bergaun hitam panjang yang
melambai-lambai, wajah mereka tertutup oleh kerudung hitam yang tebal.
"Pastinya ini tak
terlihat seperti pulang ke rumah!" seruku, berteriak di atas bunyi klakson
mobil.
Aku begitu terpesona oleh
semua hal yang tampak menarik, melihat orang-orang yang berkerumun di trotoar
sempit sehingga aku lupa untuk melihat gedung-gedung. Sebelum aku tahu itu,
kami telah berdiri di depan museum, satu bangunan batu tinggi yang menjulang di
atas jalan di belakang menara beranak tangga landai (miring). Kami menaiki tangga dan memasuki pintu putar
museum.
"Wow, begitu sunyi di
sini!" Aku berseru, berbisik. Menyenangkan untuk menjauh dari
klakson-klakson yang berbunyi, trotoar yang penuh sesak, dan orang-orang yang
berteriak.
"Kau pikir apa sebabnya
mereka membunyikan klakson begitu sering?" tanya Sari, memegang
telinganya.
"Kukira itu cuma
kebiasaan," jawabku. Kami berhenti dan memandang berkeliling.
Kami berdiri di
tengah-tengah lobi terbuka yang sangat besar. Tangga marmer tinggi berdiri di
ujung kiri dan ujung kanan. Tiang putih kembar berbingkai satu pintu lebar yang
membawa langsung kembali. Satu lukisan besar di dinding ke kanan menunjukkan
pemandangan piramida dan Sungai Nil dari udara. Kami berdiri di tengah-tengah
lantai, mengagumi lukisan itu untuk sementara waktu. Kemudian kami berjalan ke
dinding belakang dan bertanya pada seorang wanita di meja informasi untuk ruang
mumi. Dia tersenyum manis sekilas pada kami dan mengatakan kepada kami dalam
bahasa Inggris yang sempurna untuk ke tangga sebelah kanan. Sepatu kami berdebam keras
di lantai marmer yang mengkilap. Tangga itu kelihatannya akan naik selamanya.
"Ini seperti mendaki gunung,"
keluhku, setengah jalan.
"Ayo balapan ke
atas," kata Sari, menyeringai, dan pergi sebelum aku sempat menjawab.
Tentu saja ia mengalahkanku sekitar sepuluh langkah.
Aku menunggunya memanggilku
"orang yang lamban" atau "wajah siput" atau lainnya. Tapi
dia sudah berpaling untuk melihat apa yang ada di depan kami.
Suatu ruangan gelap
berlangit-langit tinggi tampak untuk meregangkan selamanya. Satu peti kaca
berdiri di tengah jalan masuk. Di dalamnya ada konstruksi rinci dari kayu dan
tanah liat.
Aku mendekat agar bisa
melihat dengan baik. Konstruksi itu menunjukkan ribuan pekerja menyeret
balok-balok besar batu kapur di pasir menuju sebuah piramida yang baru dibangun
sebagian. Di ruang belakang pameran
aku bisa melihat patung-patung batu besar, peti mumi besar, pameran dari kaca
dan tembikar, dan peti demi peti artefak dan peninggalan. "Kurasa inilah
tempatnya!" Aku berseru gembira, bergegas ke peti pertama ditampilkan.
"Ooh, apa itu ? Semacam anjing raksasa?" tanya Sari, menunjuk ke
patung besar di dinding.
Makhluk itu tampaknya
memiliki kepala anjing yang galak dan tubuh singa. Matanya menatap lurus ke
depan, dan tampaknya siap menerkam siapa saja yang datang mendekatinya.
"Mereka menempatkan
makhluk-makhluk seperti itu di depan makam," kataku pada Sari. "Kau
tahu. Untuk melindungi tempat itu. Menakut-nakuti perampok kuburan."
"Seperti anjing penjaga," kata Sari, melangkah ke dekat patung kuno
itu.
"Hei - ada mumi dalam
peti ini!" seruku, bersandar di atas peti mati batu kuno.
"Lihat!" Masih menatap kembali pada patung besar, Sari berjalan ke
sampingku. "Ya. Ini adalah mumi, oke," katanya, tak terkesan. Kurasa
dia melihat mereka lebih banyak dariku.
"Mumi ini sangat
kecil," kataku, menatap kain pembungkus yang menguning begitu erat di
sekitar kepala dan tubuh kurus.
"Nenek moyang kita
cebol," jawab Sari. "Pikirkanlah itu pria atau wanita?" Aku
melirik plat logam di sisi peti mati. "Dikatakan ia seorang pria."
"Kurasa mereka tak
bekerja di hari-hari ini," katanya dan tertawa mendengar komentarnya
sendiri.
"Mereka melakukan satu
pekerjaan membungkus yang bagus," kataku, memeriksa dengan hati-hati
bungkusan jari-jari pada tangan, yang disilangkan di atas dada mumi. "Aku
jadi mumi pada Hallowen sebelum (Hallowen) terakhir, dan kostumku benar - benar
tak bisa lepas setelah sepuluh menit!" kata Sari.
"Apakah kau tahu hal pertama yang mereka lakukan? Mereka
mengeluarkan otaknya."
"Yuck. Hentikan," katanya,
menjulurkan lidah dan membuat wajah jijik.
"Tidakkah kau tahu
tentang ini?" tanyaku, aku sangat senang punya beberapa informasi
benar-benar mengerikan dan dia tidak.
"Tolong - cukup,"
katanya, sambil mengangkat satu tangan seolah-olah untuk menangkisku.
"Tidak, ini
menarik," aku bersikeras. "Otak itu harus dikeluarkan terlebih
dahulu. Mereka punya alat khusus. Alat itu seperti pengait panjang kurus.
Mereka akan mendorongnya ke atas hidung mayat itu sampai mencapai otak dan
kemudian menggoyang-goyangkannya maju mundurdan bolak-balik, sampai otak itu
menjadi bubur. "
"Hentikan!" Sari memohon, menutupi
telinganya.
"Kemudian mereka
mengambil sendok panjang," aku melanjutkan dengan gembira, "dan
menyendok otak itu keluar sedikit pada satu waktu."
Aku membuat gerakan
menyendok dengan tanganku. "Sendok, sendok. Mereka menyendok otak keluar
melalui hidung. Atau kadang-kadang mereka memekarkan bola mata dan menyendok
otak keluar melalui rongga bola mata."
"Gabe - Aku
serius!" teriak Sari. Dia benar-benar tampak sepertinya kesakitan. Dia
pucat!
Aku menyukainya.
Aku tak pernah tahu bahwa
Sari punya tulang mual dalam tubuhnya. Tapi aku benar-benar membuatnya sakit.
Luar biasa! Pikirku.
Aku pastinya harus ingat teknik ini.
"Ini semua benar,"
kataku, tak mampu menahan senyum yang lebar. "Tutup mulutmu,"
gumamnya.
"Tentu saja
kadang-kadang mereka tak menarik otak keluar dari hidung. Kadang-kadang mereka
cukup mengiris kepalanya. Lalu mereka menguras otaknya keluar melalui leher dan
menempatkan kepalanya ke belakang pada tubuh. Kukira mereka cukup membalutnya kembali.
"
"Gabe -"
Aku menatapnya sepanjang
waktu, memeriksa reaksinya. Dia tampak lebih sakit dan lebih sakit. Napasnya
benar-benar berat. Dadanya sesak. Kupikir dia benar-benar akan kehilangan
sarapannya.
Jika ia melakukannya, aku takkan pernah
membiarkannya melupakannya.
"Itu benar-benar
kotor," katanya. Suaranya terdengar lucu, seperti itu datang dari bawah
laut atau (tempat) lainnya.
"Tapi itu benar,"
kataku. "Bukankah ayahmu pernah bercerita tentang bagaimana cara mereka
membuat mumi?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Dia tahu
aku tak suka -"
"Dan kau tahu apa yang
mereka lakukan dengan ususnya?" tanyaku, menikmati keterkejutan di
wajahnya. "Mereka menempatkannya dalam stoples dan -" Aku tiba-tiba
menyadari pandangan kaget Sari bukanlah untukku.
Dia sebenarnya menatap ke atas bahuku.
"Hah?" Aku
berbalik dan melihat mengapa ia tiba-tiba tampak begitu terkejut. Seorang pria
telah memasuki ruangan itu dan berdiri persis di depan peti pertama dipamerkan.
Aku butuh beberapa detik untuk mengenalinya.
Itu adalah Ahmed, orang
Mesir aneh yang pendiam dengan (rambut) ekor kuda hitamnya yang telah menyambut
kami dengan cara yang sedemikian tak bersahabat di dalam piramida. Dia
berpakaian sama, celana panjang putih longgar dan kemeja dengan syal merah di
lehernya. Dan ekspresi wajahnya tak ramah. Bahkan marah. Sari dan aku sama-sama
mundur dari peti mumi, dan Ahmed, matanya melirik satu dari kami kepada yang
lain, melangkah ke arah kami.
"Gabe, dia datang pada
kita!" Sari berbisik. Dia meraih lenganku. Tangannya sedingin es.
"Ayo keluar dari sini!" teriak Shari.
Aku ragu-ragu. Bukankah seharusnya kami
berhenti dan menyapanya dulu?
Tapi sesuatu tentang
pandangan tekad keras di wajah Ahmed mengatakan kepadaku bahwa Sari benar. Kami berbalik dan mulai
berjalan sangat cepat menjauh darinya ke ruang yang luas, Sari beberapa langkah
di depanku. Aku berbalik dan melihat bahwa Ahmed berlari
kecil setelah kami. Dia meneriakkan sesuatu
kepada kami, suaranya marah, mengancam. Aku tak bisa bersuara.
"Lari!" teriak Sari.
Dan sekarang kami berdua
berlari dengan kecepatan penuh, sepatu kami bersuara keras di lantai marmer
yang mengkilat.
Kami berlari di sekitar
suatu peti pameran kaca besar yang berisi tiga peti mumi yang berdiri. Lalu
kami berlari lurus ke bawah lorong yang lebar antara patung dan rak-rak berisi
tembikar-tembikar kuno dan barang-barang peninggalan piramida.
Di belakang kami, aku bisa
mendengar Ahmed berteriak dengan marah, "Kembali! Kembali!"
Dia terdengar benar-benar marah.
Sepatunya berkeletak-keletak
di lantai saat ia berlari, suaranya bergema di dalam ruangan museum besar yang
kosong.
"Dia mendekati
kita!" teriakku pada Sari, yang masih beberapa langkah di depan.
"Mestinya ada satu jalan keluar dari sini!" jawabnya terengah-engah.
Tapi segera kulihat tak ada
jalan keluar. Kami hampir sampai ke dinding belakang. Kami melewati Sphinx
(patung berkepala manusia) raksasa, lalu berhenti.
Tak ada tempat untuk pergi.
Tak ada pintu. Tak ada pintu
keluar. Satu dinding granit yang tebal.
Kami berdua berbalik dan
melihat mata Ahmed melebar penuh kemenangan. Dia membuat kami terpojok.
8
Ahmed berhenti beberapa
meter di depan kami. Dia terengah-engah seperti anjing, megap-megap, dan
memegangi pinggangnya. Dia menatap kami dengan marah. Sari melirik ke arahku.
Dia tampak pucat, benar-benar ketakutan. Punggung kami berdua menempel dinding.
Aku menelan ludah.
Tenggorokanku terasa kencang dan kering. Apa yang akan ia lakukan pada kami?
"Kenapa kalian
lari?" Ahmed akhirnya berhasil berkata, masih memegangi pinggangnya
seolah-olah kram.
"Kenapa?"
Kami tak menjawab. Kami
berdua balas menatapnya, menunggu untuk melihat apa yang akan ia lakukan.
"Aku datang dengan
pesan dari ayahmu," katanya kepada Sari, terengah-engah. Dia mengangkat
syal merah dari leher dan mengusap keningnya yang berkeringat dengannya.
"Kenapa kalian lari?"
"Sebuah pesan?" Sari tergagap.
"Ya," kata Ahmed.
"Kau kenal aku. Kita kemarin bertemu lagi. Aku tak mengerti mengapa kalian
berlari."
"Maafkan aku,"
kata Sari cepat, sambil memandangku sekilas dengan rasa bersalah. "Kami
tak berpikir jernih," kataku. "Sari membuatku takut, dan aku
mengikutinya." "Gabe menceritakan semua hal yang menakutkan,"
katanya, mendorongku dengan keras di pinggang dengan sikunya.
"Itu salahnya. Dia menakut-nakutiku dengan semua hal tentang mumi. Jadi,
ketika aku melihat Anda, aku tak berpikir jernih, dan... "
Kami berdua mengoceh. Kami
berdua merasa sangat lega bahwa ia tak mengejar kami - dan sangat malu bahwa
kami telah melarikan diri darinya.
"Ayahmu mengirimku
untuk menjemput kalian," kata Ahmed, matanya yang gelap terarah padaku.
"Tak kupikir aku harus mengejar kalian melalui seluruh museum."
"Maaf," kataku dan Sari bersamaan..
Aku merasa seperti orang tolol. Aku yakin
Sari juga begitu.
"Ayah kembali ke hotel
dan melihat catatan Gabe?" tanya Sari, meluruskan rambut dengan tangannya
saat dia menjauh dari dinding.
"Ya." Ahmed mengangguk.
"Dia pulang dari rumah
sakit cepat sekali," kata Sari, melirik jam tangannya. "Ya,"
jawab Ahmed lagi. "Ayo. Aku akan membawa kalian kembali ke hotel. Dia
menunggu kalian di sana."
Kami mengikutinya dalam
keheningan, Sari dan aku berjalan berdampingan beberapa langkah di belakangnya. Saat kami berjalan menuruni
tangga panjang, kami saling melirik malu-malu satu sama lain. Kami berdua
merasa sangat tolol karena telah melarikan diri seperti itu.
Beberapa saat kemudian, kami
kembali di trotoar yang ramai berisik, satu bunyi klakson mobil lewat tanpa
henti, semua bergerak maju dan berhenti, sopir-sopir yang tetap di
jendela-jendela mobil, berteriak dan mengacungkan tinju mereka. Ahmed memeriksa untuk
memastikan kami bersamanya, lalu berbelok ke kanan dan mulai memimpin betjalan
melewati kerumunan. Matahari sekarang naik tinggi di atas bangunan. Udara panas
dan lembab.
"Hei, tunggu -" panggilku.
Ahmed kembali, namun terus berjalan.
"Kita salah
jalan," seruku padanya, berteriak melebihi teriakan seorang penjual
jalanan di belakang gerobak sayuran. "Hotelnya di belakang jalan
itu." Aku menunjuk.
Ahmed menggeleng. "Mobilku ada di
sana."
"Kita kembali ke hotel naik mobil?"
tanya Sari, suaranya tampak terkejut.
"Itu hanya dua
blok," kataku pada Ahmed. "Sari dan aku bisa berjalan kembali sendiri
jika Anda inginkan. Anda tak benar-benar harus mengantar kami."
"Tak masalah,"
jawab Ahmed, dan dia meletakkan tangannya dengan kuat, satu di bahuku, yang
satu lagi di Sari, dan terus membimbing kami ke mobilnya.
Kami menyeberangi jalan dan
terus berjalan. Trotoar bahkan jadi lebih ramai. Seorang pria mengayunkan
sebuah tas kulit tanpa sengaja mengenai bahuku. Aku berteriak kesakitan.
Sari tertawa.
"Kau punya selera humor
yang bagus," gumamku sinis. "Aku tahu," jawabnya.
"Kalau kita berjalan, kita sudah sampai
di hotel," kataku.
Ahmed pasti mendengar, karena dia berkata,
"Mobilku di blok berikutnya."
Kami berjalan cepat melalui
orang banyak. Beberapa saat kemudian, Ahmed berhenti di suatu mobil
stationwagon kecil empat pintu. Mobil itu tertutup debu, dan spatbor di sisi
pengemudi telah merekah.
Dia membuka pintu belakang,
Sari dan aku berjejalan masuk. "Aduh," keluhku. Kursi kulit itu
terbakar panas.
"Setirnya juga
panas," kata Ahmed, naik dan memasang sabuk pengaman. Dia menyentuh roda
kemudi beberapa kali dengan kedua tangan, berusaha untuk menjadikannya hangat.
"Mereka harusnya menciptakan sebuah mobil yang tetap dingin saat
diparkir."
Mesin dihidupkan pada
percobaan kedua, dan dia keluar dari trotoar dan ke garis lalu lintas. Dengan segera, ia mulai mengklakson mobil di
depan kami. Kami bergerak perlahan, berhenti setiap beberapa detik, melewati
jalan yang sempit.
"Aku heran mengapa Ayah
tak datang menjemput kami," kata Sari kepadaku, matanya tertuju pada orang
banyak lewat jendela mobil yang berdebu.
"Dia berkata bahwa dia
akan menunggu kalian di hotel," jawab Ahmed dari kursi depan. Dia
tiba-tiba berbelok tajam ke jalan raya yang lebih luas dan mulai menambah
kecepatan. Aku butuh waktu lama untuk
menyadari bahwa kami sedang menuju ke arah yang salah - jauh dari hotel kami.
"Eh... Ahmed. Aku. Pikir hotelnya di belakang jalan itu,." Kataku,
menunjuk ke arah jendela belakang.
"Aku percaya kau
keliru," jawabnya pelan, menatap lurus ke depan melalui kaca depan.
"Kita akan ke sana segera."
"Tidak. Sungguh," aku bersikeras.
Satu hal tentang diriku
adalah aku memiliki perasaan yang benar-benar baik tentang arah. Ibu dan Ayah
selalu mengatakan bahwa mereka tak perlu peta saat aku ada. Aku hampir selalu
tahu kapan aku menuju jalan yang salah.
Sari berbalik melirikku, ekspresi gelisah
mulai mengencang di wajahnya.
"Tenanglah dan nikmati
perjalanan," kata Ahmed, menatapku melalui kaca spion. "Apa kalian
memasang sabuk pengaman? Lebih baik kalian melakukannya sekarang."
Ada satu senyum di wajahnya,
tapi suaranya dingin. Kata-katanya terdengar seperti ancaman.
"Ahmed, kita sudah
terlalu jauh," aku bersikeras, mulai merasa benar-benar takut. Di luar
jendela, bangunan-banunan lebih rendah, lebih kumuh. Kami tampaknya menjauh
dari pusat kota.
"Tetap tenanglah," jawabnya, mulai
tak sabar. "Aku tahu di mana aku pergi."
Sari dan aku bertukar
pandang. Dia tampak sekhawatir aku. Kami berdua menyadari bahwa Ahmed berbohong
kepada kami. Dia tak membawa kami ke hotel. Dia membawa kami ke luar kota.
Kami sedang diculik!
9
Melihat mata Ahmed
memperhatikanku di kaca spion, aku bermain-main dengan sabuk pengaman,
berpura-pura untuk memasangnya. Saat aku melakukan ini, aku membungkuk dekat
Sari dan berbisik di telinganya, "Lain kali saat dia berhenti."
Pada awalnya ia tak mengerti
maksudku. Tapi kemudian aku melihat bahwa ia mengerti. Kami berdua duduk
tegang, mata pada pegangan pintu, menunggu dalam keheningan. "Ayahmu orang
yang sangat cerdas," kata Ahmed, menatap Sari di cermin.
"Aku tahu," jawab
Sari dengan suara kecil. Lalu lintas melambat, lalu berhenti.
"Sekarang!" teriakku.
Kami berdua meraih pegangan pintu.
Aku mendorong pintu terbuka
dan diriku lari dengan cepat keluar dari mobil. Klakson-klakson berbunyi di
depan dan di belakangku. Aku bisa mendengar teriakan terkejut Ahmed.
Membiarkan pintu mobil
terbuka, aku berpaling untuk melihat Sari yang ada ke jalan juga. Dia menoleh
padaku saat membanting menutup pintu, matanya melebar ketakutan. Tanpa sepatah
kata pun, kami mulai berlari. Klakson-klakson mobil tampak
semakin keras saat kami menuju ke sisi jalan yang sempit. Kami berjalan
berdampingan, mengikuti jalan batu bata sempit saat jalan itu membelok di
antara dua barisan bangunan-bangunan semen putih yang tinggi. Aku merasa seperti tikus dalam labirin,
pikirku.
Jalanan menjadi lebih sempit. Kemudian
menjadi kosong ke bundaran lebar yang diisi kios-kios buah dan sayuran suatu pasar kecil.
"Apakah dia mengikuti
kita?" teriak Sari, sekarang beberapa langkah di belakangku. Aku berbalik
dan mencarinya, mataku bergerak cepat kekerumunan kecil orang yang ada pasar.
Aku melihat beberapa orang
berjubah putih. Dua wanita memasuki pasar, berpakaian hitam-hitam, membawa satu
keranjang yang dipenuhi timbunan pisang yang tinggi. Seorang anak yang
bersepeda yang membanting setir agar berjalan terus ke mereka. "Aku tak
melihatnya," teriakku ke Sari.
Tapi kami terus berlari
hanya untuk memastikan. Aku belum pernah setakut ini dalam hidupku.
Tolong, tolong, aku memohon
diam-diam, jangan biarkan dia akan mengikuti kami. Jangan biarkan dia menangkap
kami!
Berputar ke simpang kami
menemukan diri kami berada di jalan raya lebar yang sibuk. Sebuah truk lewat
terpantul-pantul menarik trailer yang dipenuhi dengan kuda-kuda. Trotoar penuh
sesak dengan orang-orang yang belanja dan para pebisnis. Sari dan aku memaksakan
jalan kami melalui mereka, mencoba untuk menghilangkan diri kami dalam
kerumunan. Akhirnya, kami sampai di tempat
perhentian di dekat pintu masuk dari bangunan yang tampaknya seperti sebuah
toko swalayan besar. Terengah-engah, aku mengistirahatkan tangan pada lututku,
mencondongkan tubuh ke depan, dan mencoba untuk menarik napas.
"Kita sudah kehilangan
dia," kata Sari, menatap kembali ke arah dari mana kita datang. "Ya.
Kita baik-baik saja,." Kataku gembira. Aku tersenyum padanya, tapi dia tak
membalas senyuman itu.
Wajahnya dipenuhi rasa
takut. Matanya terus menatap ke arah kerumunan. Satu tangan menarik gugup pada
helai rambutnya.
"Kita baik-baik saja," ulangku.
"Kita berhasil lolos."
"Hanya ada satu
masalah," katanya pelan, matanya masih pada kerumunan ramai di depan kami
di seberang trotoar.
"Hah? Masalah?"
"Sekarang kita tersesat,"
jawabnya, akhirnya berbalik menghadap ke arahku. "Kita tersesat, Gabe.
Kita tak tahu di mana kita berada."
Tiba-tiba aku punya perasaan
berat di perutku. Aku mulai akan mengeluarkan teriakan ketakutan. Tapi aku memaksa diri untuk menahannya. Aku memaksa diriku untuk berpura-pura bahwa
aku tak takut.
Sari selalu menjadi orang
yang pemberani, pemenang dan jagoan. Dan aku selalu pengecut. Tapi sekarang aku
bisa melihat bahwa ia benar-benar takut. Ini adalah kesempatanku untuk menjadi
orang keren, kesempatanku untuk menunjukkan kepadanya siapa yang benar-benar
jagoan itu.
"Tak masalah,"
kataku, menatap kaca bangunan beton yang tinggi. "Yah cukuplah bertanya
pada seseorang untuk menunjukkan kita arah ke hotel."
"Tapi tak ada yang
berbicara bahasa Inggris!" teriaknya, terdengar seakan ia hendak menangis.
"Eh... Tak ada
masalah," kataku, sedikit kurang riang. "Aku yakin seseorang..."
"Kita tersesat ," ulangnya sedih, menggelengkan kepala.
"Benar-benar tersesat."
Dan kemudian aku melihat
jawaban untuk masalah kami parkir di pinggir jalan. Taksi, sebuah taksi kosong.
"Ayo," kataku,
menarik lengannya. Aku menariknya ke taksi. Sopirnya seorang pria kurus muda
dengan kumis hitam yang lebar dan rambut hitam berserabut keluar dari topi
abu-abu kecil, berbalik terkejut saat Sari dan aku naik ke kursi belakang.
"The Cairo Center
Hotel," kataku, sambil menenangkan Sari. Sopir itu menatap kosong ke
arahku, seolah-olah dia tak mengerti.
"Tolong bawa kami ke The Cairo Center
Hotel," ulangku pelan dan jelas.
Dan kemudian ia
menggoyangkan kepalanya ke belakang, membuka mulutnya, dan mulai tertawa.
10
Sopir itu tertawa sampai air mata terbentuk
di sudut-sudut matanya.
Sari meraih lenganku.
"Dia bekerja untuk Ahmed," bisiknya, meremas pergelangan tanganku.
"Kita berjalan tepat memasuki jebakan!"
"Hah?" Aku
merasakan tikaman ketakutan di dadaku. Aku tak berpikir dia benar.
Dia tak mungkin benar!
Tapi aku tak tahu berpikir apa lagi.
Aku meraih pegangan pintu
dan mulai melompat keluar dari taksi. Tapi sopir mengangkat tangan, memberi
isyarat bagiku untuk berhenti.
"Gabe - pergi!" Sari mendorongku
dengan keras dari belakang.
"Cairo Center
Hotel?" tanya si sopir tiba-tiba, menyeka air matanya dengan jarinya. Lalu
ia menunjuk ke kaca depan. "Cairo Center Hotel?"
Sari dan aku sama-sama
mengikuti jarinya. Di sana ada hotel. Tepat di seberang jalan.
Dia mulai tertawa lagi,
menggelengkan kepala. "Terima kasih," teriakku dan keluar. Sari bergegas keluar di
belakangku, satu senyum lega yang lebar tampak di wajahnya. "Aku tak
berpikir itu lucu," kataku. "Para sopir taksi punya selera humor yang
aneh." Aku berbalik. Sopir itu masih menatap kita dengan senyum lebar di
wajahnya.
"Ayolah,"
desaknya, menarik-narik lenganku. "Kita harus memberitahu Ayah tentang
Ahmed."
Tetapi kami terkejut, kamar
hotel kami kosong. Catatanku masih di meja tempat aku meninggalkannya. Tak
dipindahkan atau disentuh.
"Dia tak pernah kembali
ke sini," kata Sari, mengambil catatanku dan meremasnya menjadi bola di
tangannya. "Ahmed berbohong - tentang segala hal."
Aku menjatuhkan diri di sofa
sambil mendesah keras. "Aku ingin tahu apa yang terjadi," kataku
sedih. "Aku tak mengerti ini."
Sari dan aku sama-sama
menjerit saat pintu kamar terbuka. "Ayah!" teriak Sari, berlari
memeluknya.
Aku sungguh-sungguh lega itu
Paman Ben, dan bukan Ahmed. "Yah, ada yang aneh -" Sari mulai.
Paman Ben melingkarkan
lengannya ke bahunya. Saat ia membimbing menyeberangi ruangan menuju sofa, aku
bisa melihat ekspresi kebingungan yang sungguh-sungguh di wajahnya.
"Ya, ini aneh,"
gumamnya, sambil menggeleng. "Kedua pekerjaku...." "Hah? Apa
mereka baik-baik?" tanya Sari.
"Tidak. Tak benar-benar
baik," jawab Paman Ben, menjatuhkan dirinya ke lengan kursi, menatap keras
tetapi tak benar-benar berfokus padaku. "Mereka berdua... dalam keadaan
shock. Aku rasa itulah bagaimana caranya untuk menggambarkannya."
"Mereka kecelakaan? Dalam piramida?" tanyaku.
Paman Ben menggaruk bagian
botak di bagian belakang kepalanya. "Aku benar-benar tak tahu. Mereka tak
bisa bicara. Mereka berdua... diam. Kupikir sesuatu -...... Atau seseorang -...
Membuat mereka takut. Menakuti mereka sampai tak bisa bicara. Para dokter benar
-benar bingung. Mereka mengatakan bahwa -"
"Ayah, Ahmed mencoba
menculik kami!" sela Sari, meremas tangan atahnya. "Apa Ahmed??"
Dia menyipitkan mata, dahinya berkerut kebingungan. "Apa maksudmu?"
"Ahmed. Pria di
piramida. Orang yang memakai pakaian putih dengan syal merah dan selalu membawa
papan tulis," jelas Sari.
"Dia mengatakan kepada
kami bahwa Anda mengirimnya untuk menjemput kami," kataku. "Dia
datang ke museum -"
"Museum?" Paman
Ben berdiri "Apa yang kalian lakukan di museum, kupikir aku bilang pada
kalian-"
"Kami harus keluar dari
sini," kata Sari, meletakkan tangan di bahu ayahnya, mencoba
menenangkannya. "Gabe ingin melihat mumi, jadi kami pergi ke museum. Tapi
Ahmed datang dan membawa kami ke mobilnya. Dia berkata bahwa dia membawa kami
padamu ke hotel."
"Tapi dia mengemudi je
jalan yang keliru," aku melanjutkan cerita. "Jadi kami melompat
keluar dan lari."
"Ahmed?" Paman Ben
terus mengulang-ulang nama itu, seolah-olah dia tak dapat percaya. "Dia
datang kepadaku dengan mandat (surat kepercayaan) dan referensi yang sangat
baik," katanya. "Dia kriptografer (ahli membaca sandi, tulisan atau
angka rahasia). Ia meneliti orang Mesir kuno. Dia terutama tertarik dengan
tulisan-tulisan di dinding dan simbol-simbol yang kita temukan."
"Jadi mengapa dia
menjemput kami?" tanyaku. "Di mana dia akan membawa kami?" tanya
Sari.
"Aku tak tahu,"
kata Paman Ben. "Tapi pastinya aku bermaksud untuk mencari tahu. Dia
memeluk Sari. "Misteri apa ini, "lanjutnya." Kalian berdua
baik-baik saja? "
"Ya. Kami baik-baik saja," Jawabku.
"Aku harus pergi ke
piramida," katanya, melepaskan Sari dan berjalan ke jendela. "Aku
meliburkan pekerjaku. Tapi aku harus ke bagian bawah itu."
Awan bergulung-gulung
(menutupi)matahari. Ruangan tiba-tiba semakin gelap. "Aku akan memesan
beberapa layanan kamar untuk kalian," kata Paman Ben, dengan
ekspresi berpikir di
wajahnya. "Apakah kalian berdua baik-baik saja di sini sampai aku kembali
malam ini?"
"Tidak!" teriak
Sari. "Kau tak bisa meninggalkan kami di sini!" "Mengapa kami
tak bisa ikut bersama Anda?" tanyaku.
"Ya! Kami ikut
denganmu!" seru Sari sebelum Paman Ben kesempatan untuk menjawab. Dia
menggelengkan kepalanya. "Terlalu berbahaya," katanya, matanya
menyipit saat ia melirik ke arahku pertama, kemudian di Sari. "Sampai aku
bisa mengetahui apa yang terjadi kepada dua pekerjaku di sana -"
"Tapi, Ayah, bagaimana
jika Ahmed datang kembali?" teriak Sari, terdengar benar-benar ketakutan.
"Bagaimana kalau dia datang ke sini?"
Paman Ben cemberut.
"Ahmed," gumamnya. "Ahmed."
"Kau tak bisa meninggalkan
kami di sini!" ulang Sari.
Paman Ben menatap keluar
jendela di langit yang mulai gelap. "Kurasa kau benar," katanya
akhirnya. "Kukira aku harus membawa kalian bersamaku."
"Ya!" Sari dan aku sama-sama
berseru lega.
"Tapi kalian harus
berjanji untuk tetap berdekatan," kata Paman Ben tegas, menunjukkan jari
pada Sari. "Aku bersungguh-sungguh. Tak keluyuran. Tak ada lelucon."
Aku menyadari bahwa aku
melihat sisi baru dari pamanku. Meskipun ia adalah seorang ilmuwan terkenal, ia
hampir selalu menjadi pelawak riang keluarga.
Tapi sekarang dia khawatir.
Benar-benar khawatir.
Tak ada lelucon lagi sampai misteri
menakutkan ini terpecahkan.
Kami makan sandwich di
restoran hotel lantai bawah, lalu berkendaraan melewati padang pasir ke
piramida. Awan tebal bergulung-gulung
di matahari saat kami melaju, membuat bayangan-bayangan di atas pasir, mewarnai
gurun gelap berkilauan dalam nuansa biru dan abu-abu. Tidak begitu lama, piramida
besar itu tampak menjulang di cakrawala semakin besar saat kami mendekati di
jalan raya yang hampir kosong.
Aku ingat saat pertama kali
aku melihatnya, hanya beberapa hari sebelum. Seperti satu pemandangan yang
menakjubkan. Tapi sekarang, melihat
melalui kaca depan mobil, aku hanya merasakan ketakutan. Paman Ben memarkir
mobil di dekat pintu masuk yang rendah yang ia temukan di belakang piramida.
Saat kami melangkah keluar, angin menerpa tanah, melemparkan pasir ke atas,
berputar-putar di sekitar kaki kami.
Paman Ben mengangkat tangan
untuk menghentikan kami di pintu masuk terowongan. "Ini," katanya.
Dia merogoh ransel perlengkapan dan mengeluarkan peralatan untukku dan Sari.
"Jepitkan ini."
Dia menyerahkan pada kami
masing-masing sebuah penyeranta (pager). "Cukup tekan tombol ini, dan akan
berbunyi padaku," katanya, membantuku mengaitkan punyaku ke sabuk celana
jeansku. "Ini seperti sebuah alat pelacak. Jika kalian menekan tombol, ia
akan mengirimkan sinyal elektronik ke unit kupakai. Lalu aku dapat melacak
kalian ke bawah dengan mengikuti tingkat suaranya. Tentu saja, aku tak
mengharapkan kalian untuk menggunakannya karena kuharap kalian untuk tetap
dekat denganku. "
Dia memberi kami senter.
"Hati-hati," perintahnya. "Tetap arahkan senter di bawah kaki
kalian, beberapa meter di depan kalian di lantai."
"Kami tahu, Yah,"
kata Sari. "Kami telah melakukan ini sebelumnya, ingat?" "Ikuti
saja perintah," katanya tajam, dan berbalik ke lubang piramida yang gelap.
Aku berhenti di pintu masuk dan menarik tangan mumi kecilku, hanya untuk
memastikan aku membawanya.
"Apa yang kau lakukan dengan itu?"
tanya Sari, menyeringai.
"Jimat
keberuntunganku," kataku, memasukkannya kembali ke dalam sakuku. Dia
mengerang dan dengan main-main mendorongku ke pintu masuk piramida. Beberapa
menit kemudian, kami sekali lagi berjalan hati-hati menuruni tangga tali
panjang dan ke dalam terowongan sempit pertama.
Paman Ben memimpin jalan,
lingkaran cahaya yang lebar dari senter menyapu bolak-balik melintasi
terowongan di depannya. Sari beberapa langkah di belakangnya, dan aku berjalan
beberapa langkah di belakang Sari.
Terowongan tampak sempit dan
lebih rendah saat ini. Kukira itu hanya suasana hatiku. Mencengkeram erat
senter, menjaga cahayanya tertuju ke bawah, aku menurunkan kepalaku menjaganya
dari benturan langit-langit rendah yang melengkung. Terowongan itu berbelok ke
kiri, kemudian miring menurun dan terpisah menjadi dua jalur. Kami mengikuti
terowongan yang ke kanan. Satu-satunya suara adalah sepatu kami yang bergesekan
dengan lantai berpasir kering.
Paman Ben terbatuk.
Sari mengatakan sesuatu. Aku tak bisa
mendengar apa itu.
Aku harus berhenti untuk
menyorotkan senterku pada sekelompok laba-laba di langit-langit, dan mereka
berdua berjalan beberapa kaki di depanku.
Mengikuti senterku saat
bergerak di lantai, aku melihat sepatuku jadi tak terikat lagi. "Oh, -
tidak lagi"
Aku membungkuk untuk
mengikatnya, mengatur senter di atas tanah di sampingku. "Hei - tunggu
dulu!" teriakku.
Tapi mereka mulai berdebat
tentang sesuatu, dan aku tak berpikir mereka mendengarku. Aku bisa mendengar
suara mereka menggema lantang turun dengan panjang di terowongan yang berlikiu
-liku, tapi aku tak bisa mengerti kata-kata mereka. Aku buru-buru menyimpulkan
ganda tali sepatu, menyambar senter, dan berdiri. "Hei, tunggu dulu!"
teriakku cemas.
Ke mana mereka pergi?
Aku menyadari bahwa aku tak
bisa mendengar suara mereka lagi. Hal ini tak dapat terjadi padaku lagi!
Pikirku.
"Hei!" Aku
berteriak, menangkupkan tangan ke mulutku. Suaraku bergema di terowongan.
Tapi tak ada suara jawaban.
"Tunggu!"
Khas, pikirku.
Begitu mereka terlibat dalam perdebatan,
mereka melupakan aku.
Aku menyadari bahwa aku
lebih marah daripada takut. Paman Ben telah membuat kesepakatan besar pada kami
untuk tetap berdekatan. Dan kemudian dia berjalan pergi dan meninggalkanku
sendirian di terowongan.
"Hei, kalian di
mana?" Aku berteriak. Tak ada jawaban.
11
Menyorotkan senter ke arah
depanku di lantai, aku menundukkan kepala dan mulai berlari, mengikuti
terowongan yang saat itu melengkung tajam ke kanan. Lantai mulai melandai ke
atas. Udara menjadi panas dan berbau pengap. Aku menemukan diriku
terengah-engah.
"Paman Ben!" panggilku.
"Sari!"
Mereka harusnya berada di
sekitar tikungan berikutnya dalam terowongan, aku berkata pada diriku sendiri.
Tak butuh waktu lama bahwa lama untuk mengikat tali sepatuku. Mereka tak dapat
begitu jauh ke depan.
Mendengar suatu suara, aku
berhenti. Dan mendengarkan.
Sekarang sunyi.
Apa aku mulai mendengar benda-benda?
Tiba-tiba terlintas (di
pikiranku). Apa ini berarti lelucon yang lain? Apakah Sari dan Paman Ben
bersembunyi, menunggu untuk melihat apa yang akan kulakukan? Apakah ini trik
bodoh lain dari mereka untuk menakut-nakutiku?
Itu bisa jadi. Paman Ben,
aku tahu, tak pernah bisa menolak lelucon praktis. Dia tertawa seperti hyena
(hewan semacam singa) ketika Sari berkata kepadanya bagaimana dia bersembunyi
dalam peti mumi dan menakut-nakuti sepuluh tahun dari hidupku.
Apa mereka berdua sekarang
bersembunyi di peti mumi, menungguku tersandung? Jantungku berdegup di dadaku.
Meskipun terowongan kuno itu panas, aku merasa dingin.
Tidak, aku memutuskan. Ini bukan lelucon
praktis.
Paman Ben terlalu serius
hari ini, terlalu khawatir tentang (sesuatu) yang melanda pekerjanya. Terlalu
khawatir tentang apa yang kita akan ceritakan tentang Ahmed. Dia tidak dalam
suasana untuk lelucon praktis. Aku mulai berjalan melalui
terowongan lagi. Saat aku berlari, tanganku menyenggol pager di pinggangku.
Haruskah aku menekannya?
Tidak, aku memutuskan.
Itu hanya akan memberi Sari
bahan tertawaan yang bagus. Dia akan bersemangat untuk memberitahu semua orang
betapa aku sudah mulai menekan tombol untuk mencari bantuan setelah dalam
piramida dalam dua menit!
Aku berbelok ke tikungan.
Dinding-dinding terowongan sepertinya menutupiku saat terowongan menyempit.
"Sari? Paman Ben?"
Tak ada gema. Mungkin terowongan itu terlalu
sempit untuk gema.
Lantai jadi lebih keras,
kurang berpasir. Dalam cahaya kuning yang redup, aku bisa melihat bahwa
dinding-dinding granit itu berbaris dengan gerigi-gerigi yang retak. Dinding-dinding itu tampak
seperti petir gelap turun dari langit-langit. "Hei -? Di mana yang
kalian" teriakku.
Aku berhenti ketika
terowongan bercabang dalam dua arah. Aku tiba-tiba menyadari betapa takutnya
aku. Kemana mereka menghilang?
Mereka harusnya sekarang menyadari bahwa aku tak bersama mereka. Aku menatap dua lubang itu,
menyorotkan senterku ke terowongan yang satu, lalu yang lain. Yang mana yang mereka
masuki? Yang mana?
Hatiku berdebar, aku berlari
ke dalam terowongan di sebelah kiri dan meneriakkan nama mereka.
Tak ada jawaban.
Aku mundur dengan cepat,
cahaya senterku melesat liar di lantai, dan melangkah ke dalam terowongan yang
kanan.
Terowongan ini lebih luas
dan lebih tinggi. Sedikit demi sedikit menikung ke kanan. Sebuah labirin
terowongan. Begitulah caranya Paman Ben menggambarkan piramida. Mungkin ribuan
terowongan, katanya padaku.
Ribuan
Terus bergerak, aku
menyemangati diriku sendiri. Terus bergerak, Gabe.
Mereka tepat di depan. Mereka harus!
Aku mengambil beberapa
langkah dan kemudian memanggil mereka. Aku mendengar sesuatu.
Suara-suara? Aku berhenti. Sekarang
begitu hening. Begitu hening, aku bisa mendengar jantungku berdebar di dadaku.
Suara itu lagi.
Aku berusaha keras mendengarkan, menahan
napas.
Itu suara gemeretak. Suatu
kekacauan pelan. Bukan suara manusia. Mungkin serangga. Atau tikus.
"Paman Ben? Sari?"
Sunyi.
Aku mengambil beberapa
langkah ke dalam terowongan. Kemudian beberapa langkah lagi. Kuputuskan lebih baik aku
melupakan kebanggaanku dan menekan tombol. Jadi bagaimana jika Sari menggodaku
tentang hal ini?
Aku terlalu takut untuk peduli. Jika aku menekannya, mereka
akan di sana untuk menemukanku dalam beberapa detik. Tapi saat aku menggapai ke
pinggangku untuk menekan pager, aku dikejutkan oleh suara keras.
Bunyi gemeretak serangga itu menjadi bunyi
deritan pelan.
Aku berhenti untuk mendengarkan,
rasa takut naik ke tenggorokanku. Deritan pelan semakin keras. Kedengarannya seperti
seseorang memecah saltine (biskuit tipis garing yang ditaburi garam) menjadi
dua. Hanya lebih keras. Lebih
keras. Lebih keras.
Tepat di bawah kakiku.
Aku memalingkan mataku ke
lantai. Aku menyorotkan senter di sepatuku.
Cukup lama bagiku untuk
menyadari apa yang terjadi. Lantai terowongan kuno itu retak terpisah di
bawahku. Retakan
itu semakin keras, sepertinya datang dari segala arah, mengelilingiku.
Pada saat aku menyadari apa yang terjadi,
sudah terlambat. Aku merasa seolah-olah aku
sedang ditarik ke bawah, tenggelam oleh kekuatan yang kuat. Lantai di bawahku ambruk dan aku jatuh.
Jatuh ke bawah, ke bawah, ke
bawah sebuah lubang hitam tak berujung. Aku membuka mulut untuk berteriak, tapi
tak ada suara yang keluar. Tanganku mencari-cari dan meraih-raih, tak ada
apa-apa! Aku memejamkan mata dan jatuh. Ke bawah, ke dalam pusaran kegelapan.
12
Aku mendengar dentang senter
di lantai. Lalu aku terbentur. Keras. Aku mendarat di pinggangku.
Rasa nyeri menyerang menembus tubuhku, dan aku melihat sesuatu berwarna merah.
Satu kilatan merah terang yang semakin terang dan terang sampai aku harus
menutup mataku. Kupikir kekuatan benturan itu merobohkankanku untuk sementara
waktu.
Ketika aku membuka mata,
segalanya tampak kabur, abu-abu kuning. Pinggangku sakit. Siku kananku
berdenyut dengan rasa sakit.
Aku mencoba sikuku. Tampaknya baik-baik saja
untuk bergerak.
Aku duduk. Kabut
perlahan-lahan mulai terkuak, seperti tirai yang perlahan-lahan naik. Dimana
aku?
Bau asam menyerbu lubang
hidungku. Bau busuk. Bau debu kuno. Bau kematian. Senter itu mendarat di
sampingku di lantai beton. Aku mengikuti sorotan cahaya senter ke arah dinding.
Dan tersentak.
Lampu itu berhenti di
tangan. Sebuah tangan manusia. Atau apa itu?
Tangan itu melekat pada satu
lengan. Lengan itu tergantung kaku dari satu badan yang tegak. Tanganku gemetar, aku
menyambar senter dan mencoba memantapkan nyalanya pada sosok tubuh itu.
Itu adalah mumi, aku
menyadarinya. Berdiri di atas kaki di dekat dinding yang jauh. Tanpa mata,
tanpa mulut, wajah diperban itu tampak menatap kembali ke arahku, keras dan
siap sedia, seolah menungguku untuk membuat langkah pertama.
13
Satu mumi?
Cahaya melesat ke wajah yang
tak lengkap itu. Aku tak bisa memantapkan tanganku. Seluruh tubuhku gemetar. Membeku di tempat, tak mampu
bergerak dari lantai yang keras, aku ternganga melihat sosok menakutkan itu.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku terengah-engah keras. Mencoba untuk
menenangkan diri, aku menarik napas dalam-dalam dari udara yang tengik, dan
menahannya.
Mumi buta itu menatap ke arahku.
Ia berdiri kaku, lengannya menggantung di
pinggangnya.
Mengapa ia berdiri di sana seperti itu? Aku
bertanya-tanya, mengambil napas dalam-dalam. Bangsa Mesir kuno tak akan
meninggalkan mumi mereka berdiri menjadi perhatian. Menyadari bahwa mumi itu
tak bergerak maju untuk menyerangku, aku mulai merasa sedikit lebih tenang.
"Tenang, Gabe.
Tenang," kataku keras-keras, berusaha memantapkan posisi senter yang
kucengkeram begitu erat di tanganku. Aku terbatuk. Udaranya begitu busuk. Begitu
tua. Sambil mengerang karena rasa
sakit di pinggangku, aku bangkit dan mulai dengan cepat menyorotkan senter
kesana kemari di depan mumi diam tak berwajah itu.
Aku berada di sebuah ruangan
besar berlangit-langit tinggi. Jauh lebih besar daripada ruangan dimana para
pekerja Paman Ben menggali
Dan lebih berantakan.
"Wow." Aku
menjerit pelan saat cahaya pucat dari lampu senter menampakkan suatu
pemandangan yang menakjubkan. Sosok-sosok tubuh yang gelap diperban semuanya
berdiri di sekelilingku.
Ruangan besar itu penuh dengan mumi!
Dalam cahaya yang tak
stabil, bayangan-bayangan mereka tampaknya berusaha mencapai ke arahku.
Dengan ngeri, aku mundur
selangkah. Aku menggerakkan senter perlahan-lahan atas pemandangan aneh yang
mengerikan itu.
Nyala senter melalui
bayangan-bayangan itu, menampakkan lengan-lengan yang diperban, tubuh-tubuh,
kaki-kaki, wajah yang tertutup.
Ada begitu banyak mumi.
Ada mumi-mumi yang bersandar
di dinding. Mumi-mumi yang berbaring di lempengan batu, lengan-lengan mereka disilangkan
di atas dadanya. Mumi-mumi yang bersandar dengan sudut yang aneh, berjongkok
rendah atau berdiri tegak, lengan mereka lurus ke depan mereka seperti monster
Frankenstein.
Di salah satu dinding
berdiri sederetan peti mumi, tutup -tutupnya disangga terbuka. Aku berbalik,
mengikuti pancaran cahaya senterku. Aku menyadari bahwa jatuhku telah
menurunkan aku ke tengah ruangan.
Di belakangku, aku bisa
melihat suatu pameran peralatan yang menakjubkan. Alat-alat aneh seperti
bergarpu, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tumpukan tinggi kain. Pot-pot
dan guci-guci raksasa dari tanah liat.
Tenang, Gabe. Tenang. Wah.
Bernapaslah perlahan.
Dengan enggan aku melangkah
mendekat, mencoba memantapkan senter. Beberapa langkah lagi.
Aku berjalan ke salah satu tumpukan
kain yang tinggi itu. Lebih mirip linen. Bahan utama yang digunakan untuk
membuat mumi.
Mengumpulkan keberanianku,
aku memeriksa beberapa peralatan itu. Tak menyentuh apapun. Hanya memandanginya
dalam kelap-kelip cahaya senter.
Alat pembuat mumi. Alat kuno pembuat mumi.
Aku melangkah pergi.
Berbalik menuju kerumunan sosok-sosok tubuh tak bergerak. Cahaya senterku
melintasi ruangan dan sampai ke suatu wilayah lantai persegi yang gelap. Dengan
penasaran, aku mendekat, melangkah di sekitar mumi kembar, yang berbaring di
punggung mereka, lengan-lengan mereka menyilang di dada mereka. Wah. Tenang,
Gabe.
Sepatuku berbunyi berisik di
sepanjang lantai saat aku berjalan dengan ragu-ragu di ruangan yang luas itu.
Persegi empat yang gelap di
lantai itu hampir seukuran kolam renang. Aku membungkuk di tepinya untuk
memeriksanya lebih dekat. Permukaannya lunak dan lengket. Seperti getah.
Apakah ini sebuah lubang
getah kuno? Apakah getah ini yang digunakan dalam pembuatan mumi-mumi yang
berdiri begitu mengancam di sekililing ruangan?
Aku tiba-tiba kedinginan yang memuatku
membeku di tempat.
Bagaimana mungkin lubang
getah ini tetap lunak setelah empat ribu tahun? Mengapa segala sesuatu di
ruangan ini - alat-alat, mumi-muni, kain-kain linen - diawetkan begitu baik?
Dan mengapa mumi-mumi ini -
setidaknya dua lusin dari mereka - dibiarkan keluar seperti ini, tersebar di
sekitar ruangan dengan posisi aneh seperti itu?
Aku menyadari bahwa aku
telah membuat penemuan luar biasa di sini. Dengan jatuh melalui lantai, aku
telah menemukan sebuah ruangan tersembunyi, ruang di mana mumi-mumi itu dibuat.
Aku telah menemukan semua alat-alat dan semua bahan yang digunakan untuk
membuat mumi empat ribu tahun yang lalu.
Sekali lagi, bau asam
menyerbu hidungku. Aku menahan napasku untuk menjaga diri agar tak tersedak.
Ini adalah bau tubuh berusia empat ribu tahun, aku menyadarinya. Bau yang
ditahan ruangan kuno tersembunyi ini - sampai sekarang.
Menatap bayangan sosok-sosok
tubuh yang diperban yang menatapku kembali menatapku dengan wajah tak lengkap
yang mengerikan, aku meraih pager. Paman Ben, kau harus cepat datang, pikirku.
Aku tak ingin sendirian di
sini lagi lebih lama lagi. Kau harus datang ke sini sekarang!
Aku menarik pager itu dari sabukku dan
mendekatkannya ke cahaya.
Aku sadar yang harus
kulakukan adalah menekan tombol, Paman Ben dan Sari akan datang berlari.
Mencengkeram erat kotak
kecil di tanganku, aku menggerakkan tanganku ke tombol - dan berteriak panik.
Pager itu hancur. Rusak.
Remuk. Tombolnya bahkan tak bisa ditekan.
Aku pasti mendarat di
atasnya saat aku jatuh. Tak ada gunanya.
Aku sendirian di sini.
Sendirian dengan mumi-mumi
kuno, menatapku dengan wajah tak lengkap dengan diam melalui bayangan -bayangan
gelap yang dalam.
14
Sendirian.
Aku menatap dengan ngeri
pager tak berguna itu. Senter itu bergetar di tanganku.
Tiba-tiba, semuanya tampak
bergerak kepadaku. Dinding-dinding. Langit-langit. Kegelapan. Mumi-mumi.
"Hah?"
Aku terhuyung mundur selangkah. Lalu
selangkah lagi.
Aku sadar bahwa aku
mencengkeram senter begitu erat, tanganku terluka. Cahaya senter bermain-main
pada sosok-sosok tubuh berwajah tak lengkap itu. Mereka tak bergerak.
Tentu saja mereka tak bergerak.
Aku mundur selangkah lagi.
Bau busuk asam sepertinya semakin kuat, semakin tebal. Aku menahan napas, tapi
bau itu di lubang hidungku, di mulutku. Aku bisa merasakannya, rasa busuk,
aroma rasa kematian empat ribu tahun.
Aku melemparkan pager tak
berguna itu di lantai dan melangkah mundur lagi, menjaga mataku pada mumi-mumi
yang berdiri itu.
Apa yang akan kulakukan?
Bau itu membuatku sakit. Aku
harus keluar dari sini, harus memanggil Paman Ben. Melangkah lagi.
"Tolong!"
Aku mencoba berteriak, tapi
suaraku terdengar lemah, teredam oleh udara, berat yang busuk.
"Tolong! Ada yang bisa
mendengarku?!" Sedikit lebih keras.
Menyelipkan lampu senter di
bawah lenganku, aku melekukkan tanganku di sekitar mulutku untuk membentuk pengeras
suara.
"Ada yang bisa mendengarku?" Aku
menjerit.
Aku mendengarkan, putus asa
untuk mendapat jawaban. Sunyi.
Di mana Sari dan Paman Ben?
Mengapa mereka tak bisa mendengarku? Mengapa mereka tak mencariku?
"Tolong - Siapa pun - kumohon
tolonglah!"
Aku menjerit sekeras
mungkin, memiringkan kepalaku sampai ke lubang di langit-langit, lubang
tempatku jatuh.
"Tak adakah orang yang
mendengarku?" jeritku.
Aku bisa merasakan kepanikan
mencengkeram dadaku, membekukan kakiku. Kepanikan melandaku, gelombang demi
gelombang melumpuhkanku. "Tolong aku! Siapa saja! Aku mohon!"
Aku mundur selangkah lagi.
Dan sesuatu berderak di bawah sepatuku.
Aku mengeluarkan jeritan
bernada tinggi dan terhuyung ke depan. Apa pun itu telah merayap pergi.
Aku mengembuskan napas keras, napas panjang
lega.
Dan kemudian aku merasa sesuatu yang
menyenggol pergelangan kakiku.
Aku menjerit, dan senter
terjatuh dari bawah lenganku. Berdentang berisik ke lantai. Lampu itu mati.
Sekali lagi, sesuatu
menggarukku diam-diam . Sesuatu yang keras.
Aku mendengar suara mengais
pelan di atas lantai. Sesuatu menggigit pergelangan kakiku.
Aku menendang keras, namun
hanya memukul udara. "Ohh, tolong!"
Ada makhluk di sini. Banyak
sekali. Tapi mereka itu apa?
Sekali lagi, sesuatu
menampar pergelangan kakiku, dan aku menendang dengan liar. Dengan panik, aku
membungkuk, menyambar senter dalam kegelapan.
Dan menyentuh sesuatu yang
keras dan berduri. "Ohh, tidak!"
Aku merengutkan tanganku dengan teriakan
kaget.
Dalam kegelapan, meraba-raba
mencari senter, aku punya perasaan bahwa seluruh lantai jadi hidup. Lantainya
bergerak bergelombang, menggulung dan melempar, menggelegak di bawahku.
Akhirnya, aku menemukan
senter. Aku meraihnya dengan tanganku yang gemetar, berdiri, dan berjuang untuk
menghidupkannya kembali.
Saat aku melangkah mundur,
sesuatu tergelincir pada kakiku. Rasanya keras. Dan berduri.
Aku mendengar suara
ceklikan. Suara gemeretak. Makhluk-makhluk yang saling bertabrakan.
Terengah-engah keras, dadaku
naik-turun, seluruh tubuhku dicekam ketakutan, aku melompat, mencoba untuk
menjauh saat aku menggerak-kan senter dengan gugup. Sesuatu berderak keras di
bawah sepatuku. Aku menjauh, melompat di atas sesuatu yang berlari cepat melalui
kakiku.
Akhirnya, lampu senter menyala.
Hatiku berdebar, aku menurunkan sinar cahaya
kuning ke lantai. Dan melihat makhluk-makhluk
bersuara gemeratak dan menggigit. Kalajengking-kalajengking! Aku tersandung ke sarang
mereka yang menjijikkan. "Ohh - tolong!"
Aku tak mengenali suara
kecil ketakutanku saat aku berteriak. Aku bahkan tak sadar kalau aku telah
berteriak.
Cahaya melesat di atas
makhluk -makhluk merayap itu, ekor-ekor mereka terangkat seolah -olah siap
untuk menyerang, cakar-cakar mereka bergemeretak diam saat mereka bergerak.
Bergerak pelan-pelan satu sama lain. Merayap melewati pergelangan kakiku.
"Siapa pun - tolong!"
Aku berjingkrak mundur saat
sepasang cakar mencengkeram kaki celana jeansku - ke makhluk lain yang ekornya
membentur bagian belakang sepatuku.
Berjuang untuk melepaskan
diri dari makhluk-makhluk beracun itu, aku tersandung. "Jangan. kumohon -
jangan!"
Aku tak bisa menyelamatkan
diriku sendiri. Aku mulai terjatuh. Tanganku terjulur, tapi tak ada bisa diraih. Aku akan terjun langsung ke
tengah-tengah mereka. "Tidaaaak!" Aku menjerit panik saat aku menggulingkan
maju. Dan merasakan dua tangan meraih bahuku dari
belakang.
15
Satu mumi! Pikirku.
Seluruh tubuhku mengejang ketakutan.
Kalajengking-kalajengking
itu menggeretak dan mengais-ngais di kakiku. Tangan-tangan yang kuat
mencengkeram bahuku, menarikku dengan keras. Tangan-tangan kuno diperban.
Aku tak bisa bernapas. Aku
tak bisa berpikir. Akhirnya, aku berhasil berputar.
"Sari!" teriakku.
Dia menarikku satu sentakan
lagi. Kami berdua tersandung mundur, cakar-cakar mengeretak ke arah kami.
"Sari - bagaimana -?"
Kami bergerak bersama-sama
sekarang, kami berjalan menuju ke tengah ruang yang luas itu. Aman. Aman dari sarang
kalajengking yang bergemertak menjijikkan. "Hidupmu selamat,"
bisiknya. "Yuck. Itu menjijikkan!"
"Ceritakan padaku
tentang itu," kataku pelan. Aku masih bisa merasakan makhluk mengerikan
itu meluncur di sepanjang pergelangan kakiku, masih merasakan mereka merayap di
antara kakiku, berderak di bawah sepatuku. Aku tak berpikir bahwa aku akan bisa
melupakan suara berderak itu.
"Apa yang kaulakukan di
sini?" teriak Sari tak sabar, seakan memarahi anak-anak. "Ayah dan
aku telah mencari ke mana-mana."
Aku menariknya lebih menjauh
dari kalajengking, ke tengah ruangan. "Bagaimana kau bisa ke sini?"
teriakku, berjuang untuk menenangkan napasku, berjuang untuk menghentikan
debaran hati di dadaku.
Dia menunjuk dengan
senternya ke sebuah terowongan di sudut yang tak kulihat. "Aku sedang
mencarimu. Ayah dan aku terpisah. Apa kau percaya? Dia berhenti untuk berbicara kepada seorang
pekerja, dan aku tak menyadarinya. Saat aku berbalik, ia sudah tak ada. Lalu
aku melihat cahaya bergerak-gerak di dalam sini. Kupikir itu adalah Ayah.
"
"Kau juga
tersesat?" tanyaku sambil menyeka butiran keringat dingin dari dahiku
dengan punggung tanganku.
"Aku tak tersesat. Kau
yang tersesat," ia bersikeras. "Bagaimana kau bisa melakukan itu,
Gabe. Ayah dan aku benar-benar panik."
"Mengapa kalian tak
menungguku?" tuntutku marah. "Aku memanggil kalian. Kalian menghilang
begitu saja."
"Kami tak mendengarmu," jawabnya,
sambil menggeleng.
Aku benar -benar senang
melihatnya. Tapi aku membenci caranya menatapku, seperti aku orang tolol tak
punya harapan. "Aku kira kami terlibat dalam perdebatan. Kami pikir kau di
belakang kami. Lalu saat kami berbalik, kau tak ada." Dia mendesah dan
menggeleng. "Hari apa ini!"
"Hari apa?" teriakku nyaring.
"Hari apa?"
"Gabe, mengapa kau
melakukan itu?" tuntut. "Kau tahu kita seharusnya tetap dekat
bersama-sama."
"Hei - itu bukan salahku," aku
bersikeras marah.
"Ayah begitu marah," kata Sari,
menyorotkan cahaya senter ke wajahku.
Aku mengangkat lenganku
untuk melindungi mataku. "Hentikan," bentakku. "Dia tak akan
marah saat ia melihat apa yang telah kutemukan. Lihatlah."
Aku menyorotkan senter ke
satu mumi yang meringkuk dekat lubang getah, kemudian berpindah ke mumi lain,
yang satu ini berbaring, kemudian ke deretan peti mumi di dinding.
"Wow." Sari
mengucapkan kata dengan diam-diam. Matanya terbelalak karena terkejut.
"Ya. Wow," kataku, mulai merasa sedikit lebih dari biasanya. "Ruangan
ini penuh dengan mumi. Dan ada semua jenis alat, kain dan segala yang
dibutuhkan untuk membuat mumi. Ini semua dalam kondisi sempurna, seperti belum
tersentuh dalam ribuan tahun." Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraanku.
"Dan aku menemukan itu semua," tambahku. "Ini mestinya (ruangan)
di mana mereka mempersiapkan mumi untuk penguburan," kata Sari, matanya
melirik dari satu mumi ke mumi lainnya. "Tapi kenapa beberapa dari mereka
berdiri seperti itu?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tak
tahu."
Dia berjalan ke atas
mengagumi tumpukan kain linen yang terlipat rapi. "Wow ini. Menakjubkan,
Gabe."
"Luarbiasa!" Aku
setuju. "Dan jika aku tak berhenti untuk mengikat sepatuku, aku tak akan
pernah menemukannya."
"Kau akan menjadi
terkenal," kata Sari, satu senyum terbentang di wajahnya.
"Berterimakasihlah padaku karena menyelamatkan hidupmu."
"Sari -" Aku mulai.
Tapi dia telah pindah ke
seberang ruangan dan mengagumi dari jarak dekat salah satu mumi yang berdiri
tegak. "Tunggu sampai Ayah melihat semua ini," katanya, tiba-tiba
terdengar bersemangat seperti aku.
"Kita harus
memanggilnya," kataku bersemangat. Aku menoleh ke belakang ke sarang
kalajengking dan merasakan udara dinginnya ketakutan memperketat belakang
leherku. "Orang-orang begitu kecil waktu itu," katanya, memegang
senter dekat ke wajah mumi yang tertutup. "Lihat - Aku lebih tinggi dari
yang satu ini."
"Sari, gunakan pagermu," kataku tak
sabar, berjalan mendekatinya.
"Yuck. Ada serangga
merangkak di wajah yang satu ini,." Katanya, melangkah mundur dan
menurunkan cahaya. Dia membuat wajah jijik. "Menjijikkan."
"Ayo. Gunakan pagermu..
Panggil Paman Ben," kataku. Aku meraih pager di pinggang, tapi ia menarik
diri.
"Oke, oke. Mengapa tak
kau gunakan milikmu?" Dia menatapku curiga. "Kau lupa tentang itu,
Gabe. Bukan begitu!" tuduhnya.
"Tidak," jawabku tajam, "Punyaku saat ketika aku jatuh ke tempat ini."
Dia menyeringai dan menarik
pager itu dari ikat pinggangnya. Aku menyorotkan senterku di atasnya saat ia
menekan tombol. Dia menekan dua kali, hanya untuk memastikan, kemudian
dijepitkan kembali ke celana jeansnya. Kami berdiri dengan tangan
disilangkan, menunggu Paman Ben mengikuti sinyal radio dan menemukan kami. "Seharusnya
ini tak butuh waktu lama," kata Sari, matanya ke sudut terowongan.
"Dia tak jauh di belakangku."
Benar saja, beberapa detik
kemudian, kami mendengar suara seseorang mendekati dalam terowongan.
"Paman Ben!" teriakku penuh
semangat. "Lihat apa yang kutemukan!"
Sari dan aku mulai berlari
ke terowongan, lampu kami berkelok-kelok di atas pintu masuk yang rendah.
"Yah, kau tak akan percaya -" Sari
mulai.
Dia berhenti ketika sosok
tubuh yang berhenti membungkuk keluar dari kegelapan dan berdiri tegak. Kami
berdua ternganga ngeri, senter kami membuat wajah berkumisnya bersinar
menakutkan.
"Itu Ahmed!" teriak Sari, meraih
lenganku.
16
Aku menelan ludah.
Sari dan aku saling menatap.
Aku melihat wajahnya tegang ketakutan. Ahmed.
Dia telah mencoba untuk
menculik kami. Dan sekarang dia mandapati kami sendirian di sini.
Dia melangkah maju, obor
pilihannya terangkat tinggi di satu tangan. Rambut hitamnya bersinar dalam
lidah api yang berkelap-kelip. Matanya menyipit mengancam kami. "Ahmed,
apa yang kau lakukan di sini?" kata Sari, menggenggam tanganku begitu
keras, aku meringis.
"Apa yang kalian
lakukan di sini?" tanyanya pelan, suaranya sedingin matanya. Memegang obor
di depannya, ia melangkah ke dalam ruangan. Matanya berkeliling ruangan,
seolah-olah memeriksa, memastikan bahwa tak ada yang dipindahkan. "Ayahku
akan berada di sini dalam sedetik," kata Sari kepadanya. "Aku
menyerantanya." "Aku telah mencoba untuk memperingatkan ayahmu,"
kata Ahmed, menatap keras pada Sari. Kelap-kelip oranye dari lampu obor
membuatnya semakin terang, kemudian memudar menjadi bayangan.
"Memperingatkannya?" tanya Sari.
"Tentang kutukan itu," kata Ahmed
tanpa emosi.
"Paman Ben menyebutkan
beberapa macam kutukan padaku," kataku, sambil melirik cemas pada Sari.
"Aku tak berpikir ia menganggap hal-hal semacam itu dengan serius."
"Dia harus!" jawab Ahmed, meneriakkan kata-kata, matanya bersinar
dengan kemarahan dalam cahaya obor.
Sari dan aku balas
menatapnya dalam keheningan. Dimana Paman Ben? Aku bertanya-tanya.
Apa yang menahannya?
Cepat, aku diam-diam memohon. Kumohon -
cepatlah!
"Kutukan harus
dilaksanakan," kata Ahmed lagi, pelan hampir-hampir sedih. "Aku tak
punya pilihan kalian telah melanggar ruangan pendeta wanita itu.."
"Pendeta wanita?" Aku tergagap.
Sari masih meremas lenganku. Aku menariknya
menjauh. Sari menyilangkan tangannya dengan pasti di atas dadanya.
"Ruangan ini milik
Pendeta wanita Khala," kata Ahmed, menurunkan obor. "Ini adalah Kamar
Persiapan suci dari Pendeta Khala, dan kalian telah melanggarnya."
"Yah, kami tak
tahu," bentak Sari. "Aku benar-benar tak melihat apa masalahnya,
Ahmed."
"Dia benar,"
kataku cepat. "Kami tak menyentuh apa-apa. Kami tak memindahkan apapun.
Aku tak berpikir -.."
"Tutup mulutmu,
goblok!" jerit Ahmed. Dia mengayunkan obor dengan marah seolah mencoba memukul
kami.
"Ahmed, ayahku akan
berada di sini setiap saat," ulang Sari, suaranya gemetar. Kami berdua
memutar mata kami ke terowongan. Gelap dan sunyi.
Tak ada tanda Paman Ben.
"Ayahmu orang yang
pintar," kata Ahmed. "Sayang sekali ia tidak cukup cerdas untuk
mengindahkan peringatanku."
"Peringatan?" tanya Sari.
Aku menyadari bahwa ia
mengulur-ulur waktu, mencoba untuk tetap membuat Ahmed berbicara sampai Paman
Ben tiba.
"Aku menakut -nakuti
dua pekerja itu," aku Ahmed pada Sari. "Aku takut mereka menunjukkan
pada ayahmu bahwa kutukan itu masih hidup, bahwa aku siap untuk melaksanakan
keinginan Khala itu."
"Bagaimana kau menakut-nakuti
mereka?" Sari menuntut.
Dia tersenyum. "Aku
memberi mereka satu demonstrasi kecil. Aku menunjukkan pada mereka bagaimana
rasanya jika direbus hidup-hidup." Lalu matanya beralih ke lubang getah.
"Mereka tak menyukainya," tambahnya pelan.
"Tapi, Ahmed -" Sari mulai.
Dia memotongnya.
"Ayahmu seharusnya tahu lebih baik daripada kembali ke sini. Dia harus
percaya padaku. Dia seharusnya percaya pada kutukan Pendeta itu. Pendeta itu
mengutuk semua orang yang melanggar ruangannya."
"Tapi, ayolah, kau tak benar-benar
percaya -" aku memulai.
Dia mengangkat obor
mengancam. "Itu ditetapkan oleh Pendeta Khala lebih dari empat ribu tahun
yang lalu bahwa ini ruangan yang suci tak boleh dilanggar," teriaknya,
memberi isyarat dengan obor, meninggalkan jejak cahaya oranye melawan kegelapan.
"Sejak saat itu, dari generasi ke generasi, anak cucu Khala telah
memastikan bahwa perintah Pendeta itu dipatuhi."
"Tapi, Ahmed -" teriak Sari.
"Sampai kepadaku,"
lanjutnya, mengabaikan, mengabaikan kami berdua, menatap langit-langit saat ia
berbicara, seolah-olah berbicara langsung kepada Pendeta itu di langit.
"Sampai kepadaku sebagai keturunan Khala untuk memastikan kutukan itu
dilaksanakan."
Aku menatap melewati Ahmed
ke terowongan. Masih tak ada tanda-tanda dari Paman Ben.
Apakah dia akan datang?
Apakah pager Sari bekerja? Apa yang menahannya?
"Aku mengajukan diri
untuk bekerja untuk ayahmu untuk memastikan bahwa tempat suci Khala ini tak
dilanggar," lanjut Ahmed, bayangan-bayangan berkelap-kelip di wajah
mengancamnya. "Ketika dia tak mengindahkan peringatanku, aku harus
mengambil tindakan. Aku menakut-nakuti kedua pekerja itu. Lalu aku berencana
untuk membawa pergi kalian, untuk menyembunyikan kalian sampai ia setuju untuk
menghentikan pekerjaannya."
Dia menurunkan obor.
Wajahnya dipenuhi dengan kesedihan. "Sekarang, aku tak punya pilihan. Aku
harus melaksanakan tugas yang suciku. Aku harus menjaga janji kuno untuk
Khala."
"Tapi apa artinya
itu?" teriak Sari. Sinar obor oranye itu mengungkapkan ekspresi
ketakutannya.
"Apa artinya?"
Ahmed diulang. Dia menunjuk dengan obor. "Lihatlah di sekeliling
kalian."
Kami berdua berbalik dan
melirik cepat ke seluruh ruangan. Tapi kami tak mengerti. "Mumi-mumi
itu," jelasnya.
Kami masih tak mengerti.
"Ada apa dengan mumi-mumi itu?" Aku
berhasil bicara terbata-bata.
"Mereka semua pelanggar
ruangan Pendeta ini," ungkap Ahmed. Senyum tipis yang terbentuk di
wajahnya hanya bisa digambarkan sebagai senyum bangga. "Maksudmu - mereka
bukan dari Mesir kuno?" teriak Sari, mengangkat tangannya dengan ngeri ke
wajahnya.
"Sebagian dari
mereka," jawab Ahmed, masih tersenyum, senyum menakutkan, senyum dingin.
"Beberapa dari mereka penyusup kuno. Beberapa dari mereka baru-baru ini.
Tapi mereka semua memiliki satu kesamaan. Mereka semua menjadi korban kutukan
itu. Dan mereka semua dijadikan mumi hidup-hidup? "
"Tidak!" Aku menjerit tanpa sadar.
Ahmed mengabaikan ledakan ketakutanku.
"Aku melakukan yang
satu itu sendirian," katanya, menunjuk ke sebuah mumi yang berdiri kaku
saat memperhatikan di tepi lubang getah.
"Oh, betapa mengerikan!" teriak
Sari, suaranya gemetar.
Aku menatap penuh harap pada
lubang terowongan belakang Ahmed. Tapi masih belum ada tanda-tanda Paman Ben.
"Hari ini, aku harus
bekerja lagi," Ahmad mengumumkan. Hari ini akan ada mumi yang baru. Piala
baru untuk Khala. "
"Kau tak bisa melakukan
itu!" jerit Sari menjerit. Aku meraih tangannya.
Untuk ketakutanku, aku
sekarang benar-benar mengerti. Aku mengerti mengapa beberapa mumi itu masih
dalam kondisi baik.
Mereka baru.
Semua alat-alat itu, getah,
linen - telah digunakan oleh keturunan Khala, keturunan seperti Ahmed. Sejak
jaman Khala, siapa saja yang telah memasuki ruangan itu - ruangan dimana kami
sekarang berdiri - telah dijadikan mumi.
Hidup-hidup.
Dan sekarang Sari dan aku juga akan menjadi
mumi.
"Ahmed, kau tak
bisa!" teriak Sari. Dia melepaskan tanganku dan mengepalkan tinjunya
dengan marah di pinggangnya.
"Ini adalah kehendak
Khala," jawabnya pelan, matanya yang gelap bersinar dalam cahaya obor.
Aku melihat sebuah belati
berbilah panjang muncul di tangannya yang bebas. Pisau itu menangkap cahaya
dari obor.
Sari dan aku sama-sama
mundur selangkah, Ahmad mulai bergerak ke arah kami dengan cepat,
langkah-langkah pasti.
17
Saat Ahmed mendekat, Sari
dan aku mundur bersembunyi ke tengah ruangan. Lari, pikirku.
Kita bisa lari darinya. Mataku dengan panik mencari
tempat agar kami bisa melarikan diri melaluinya. Tapi tak ada jalan keluar. Terowongan di sudut tampak
lubangnya saja. Dan kami harus lari tepat melewati Ahmed untuk sampai ke sana. Sari, aku lihat, dengan panik menekan pager
di pinggangnya. Dia melirik ke arahku, wajahnya tegang ketakutan.
"Yowwww!"
Aku menjerit saat aku
tiba-tiba mundur ke seseorang. Aku berbalik dan menatap ke wajah mumi yang
diperban. Dengan terkesiap keras, aku meluncur menjauhinya.
"Ayo kita lari ke
terowongan," bisikku pada Sari, tenggorokanku begitu kering dan ketat, aku
nyaris tak bisa mendengar sendiri (suaraku). "Dia tak bisa menangkap kita
berdua." Sari menatap ke arahku, bingung. Aku tak tahu apakah ia
mendengarku atau tidak.
"Jangan lari,"
kata Ahmed pelan, seolah-olah membaca pikiranku. "Tidak ada yang bisa
melarikan diri dari kutukan Khala itu."
"Dia - dia akan membunuh kita!"
jerit Sari.
"Kalian telah melanggar
ruangan sucinya," kata Ahmed, menaikkan tinggi obor, memegang belati itu
di pinggangnya.
Dia melangkah lebih dekat.
"Aku melihatmu kemarin naik ke sarkofagus (peti mati dari batu) suci. Aku
melihat kalian berdua bermain-main di ruang suci Khala. Saat itulah aku tahu
aku harus melaksanakan tugas suciku -..."
Sari dan aku sama- sama
berteriak saat sesuatu yang turun dari langit-langit ruangan. Kami bertiga
mendongak melihat tangga tali menggantung dari lubang dimana aku jatuh. Tali
berayun berayun bolak -balik saat diturunkan hampir ke lantai.
"Apakah kalian di sana
aku? Aku akan turun!" teriak Paman Ben pada kami. "Paman Ben -
jangan!" jeritku.
Tapi dia sudah bergerak
menuruni tangga tali, turun dengan cepat, tangga itu bawah berat badannya.
Ditengah, ia berhenti dan
mebatap ke dalam ruangan. "Ada apa ini -?" teriaknya, matanya
menjelajahi pemandangan yang menakjubkan.
Dan kemudian ia melihat Ahmed.
"Ahmed, apa yang kau
lakukan di sini?" Teriak Paman Ben terkejut. Dia cepat-cepat menurunkan
dirinya ke lantai, melompat menuruni tiga anak tangga terakhir. "Hanya
melaksanakan keinginan Khala," kata Ahmed, wajahnya tanpa ekspresi
sekarang, matanya menyipit mengantisipasi.
"Khala? Pendeta itu?" Paman Ben
wajahnya berkerut kebingungan.
"Dia akan membunuh
kita!" teriak Sari, bergegas ke ayahnya, melemparkan lengannya di pinggang
ayahnya. "Yah - dia akan membunuh kita. Dan kemudian mengubah kita menjadi
mumi!"
Paman Ben mememegang Sari
dan melihat dari balik bahunya menuduh di Ahmed. "Apakah itu benar?"
"Ruangan ini telah
dilanggar. Ini bukan salahku, Dokter, untuk melaksanakan kutukan." Paman
Ben menaruh tangannya di bahu Sari yang gemetar dan dengan pelan dipindahkan ke
samping. Lalu ia mulai berjalan perlahan-lahan, terus, menuju Ahmed.
"Ahmed, mari kita keluar dari sini dan membicarakan hal ini," katanya,
mengangkat tangan kanannya seolah-olah menawarkan persahabatan.
Ahmed mundur selangkah,
mengangkat obor sambil mengancam. "Kemauan Pendeta tak boleh
diabaikan."
"Ahmed, kau adalah ilmuwan, dan begitu
juga aku," kata Paman Ben.
Aku tak percaya betapa
tenang suaranya. Aku bertanya-tanya apakah itu suatu akting. Pemandangan yang
menegangkan. Kami benar-benar berada dalam bahaya yang mengerikan.
Tapi aku merasa sedikit
lebih tenang mengetahui bahwa pamanku di sini, tahu bahwa ia akan mampu
menangani Ahmed dan membawa kita keluar dari sini - hidup-hidup.
Aku melirik menenangkan
Sari, yang sedang menatap tajam, menggigit bibir bawahnya dalam konsentrasi
tegang saat ayahnya mendekati Ahmed.
"Ahmed, letakkan obor
itu," desak Paman Ben, tangannya memanjang. "Belatinya, juga.
Kumohon. Mari kita bahas ini antar ilmuwan"
"Apa yang dibahas?"tanya Ahmed
pelan, matanya ke arah Paman Ben mempelajari dengan seksama.
"Kehendak Khala harus dilakukan, seperti yang telah ada selama empat ribu
tahun. Itu tidak dapat didiskusikan."
"Antara sesama ilmuwan,
" ulang Paman Ben, kembali menatap Ahmed seolah menantangnya.
"Kutukan itu sudah kuno. Khala sudah melakukannya selama berabad-abad.
Mungkin sudah waktunya untuk membiarkannya beristirahat. Turunkan senjatamu,
Ahmed. Ayo kita bicarakan hal ini. Antara sesama ilmuwan."
Ini akan baik-baik saja,
pikirku, menarik napas panjang lega. Semuanya akan baik-baik saja. Kami akan
keluar dari sini.
Tapi kemudian Ahmed pindah dengan kecepatan
mengejutkan.
Tanpa peringatan, tanpa
perkataan, ia memundurkan lengan dan, mencengkeram pegangan obor dengan kedua
tangan, mengayunkan sekeras-kerasnya ke kepala Paman Ben.
Obor itu membuat suara keras
saat mengenai sisi wajah Paman Ben. Api menari-nari sampai oranye.
Satu pusaran berwarna cerah.
Dan kemudian bayangan-bayangan. Paman Ben
mengerang. Matanya melotot lebar terkejut. Dengan rasa sakit. Obor tak
membakarnya. Tapi hembusannya itu merobohkannya. Dia merosot ke lututnya. Lalu
matanya terpejam, dan dia jatuh lemas ke lantai. Ahmed mengangkat obor tinggi,
matanya bersinar gembira, dengan kemenangan. Dan aku tahu kami tertimpa
malapetaka.
18
"Ayah!"
Sari bergegas ke ayahnya dan berlutut di
sisinya.
Tapi Ahmed bergerak cepat,
mengayunkan obor ke arahnya, siap memegang belati, memaksanya untuk mundur. Setetes
darah tipis, bersinar gelap dalam cahaya api, mengalir di sisi wajah Paman Ben.
Dia mengerang, tapi tak bergerak. Aku melirik cepat pada mumi-muni tersebar di
seluruh ruangan. Sulit yang untuk percaya bahwa kita akan segera menjadi salah
satu dari mereka. Aku berpikir untuk melompati Ahmed, mencoba untuk
merobohkannya.. Kubayangkan meraih obor, mengayunkannya kepadanya, memaksanya
ke dinding. Memaksanya untuk membiarkan kami lolos. Tapi pisau belati itu
berpendar, seakan memperingatkan aku untuk tetap mundur. Aku hanya anak kecil,
pikirku. Pikiran bahwa aku bisa mengalahkan seorang pria dewasa dengan pisau
dan obor adalah gila.
Gila.
Semua pemandangan ini gila. Dan mengerikan. Aku
tiba-tiba merasa sakit. Perutku menegang, dan rasa mual melandaku.
"Biarkan kami pergi - ! Wow" teriak Sari pada Ahmed.
Mengejutkan, Ahmed bereaksi
dengan mengayunkan obor kembali dan membuatnya ke seberang ruangan.
Obor itu mendarat dengan
suara celepuk pelan di tengah lubang getah. Seketika, permukaan getah itu
terbakar. Kobaran api menyebar, melompat ke arah langit-langit ruang, sampai
seluruh lubang persegi itu terbakar. Saat aku menatap dengan takjub, getah itu
menggelegak dan menggelembung di bawah kobaran api oranye dan merah yang
menutupinya.
"Kita harus menunggunya
mendidih," kata Ahmed dengan tenang, bayangan-bayangan tertangkap oleh api
yang berkelap-kelip di wajah dan pakaiannya.
Ruangan menjadi berkabut
asap. Sari dan aku sama-sama mulai batuk. Ahmed membungkuk dan menaruh
tangannya di bawah bahu Paman Ben. Dia mulai menyeretnya di lantai.
"Biarkan saja
dia!" teriak Sari, berlari dengan panik ke arah Ahmed. Aku melihat bahwa
ia akan mencoba melawannya.
Aku meraih bahunya dan menahannya. Kami bukan
tandingan Ahmed. Dia telah merobohkan Paman Ben hingga tak sadar. Tak ada yang
tahu apa yang akan dilakukannya pada kami. Sambil memegangi Sari, aku menatap
Ahmed. Apa yang rencananya sekarang? Tak butuh waktu lama untuk mencari tahu. Dengan
kekuatan yang mengejutkan, ia menarik Paman Ben melewati lantai ke salah satu
peti mumi yang terbuka ti dinding. Lalu ia mengangkatnya ke situ dan
mendorongnya ke dalam peti ini. Bahkan tanpa sedikit pun mengeluarkan napas,
Ahmed mendorong tutupnya menutup di atas pamanku yang pingsan. Lalu ia
berpaling kepada kami. "Kalian berdua - ke mumi yang itu." Dia
menunjuk ke sebuah peti mumi yang besar di atas alas tinggi di samping Paman
Ben. Peti itu hampir setinggi aku, dan setidaknya panjangnya sepuluh kaki.
Pasti telah dibangun untuk menahan seorang yang akan dijadikan mumi - dan semua
barang miliknya.
"Lepaskan kami!"
Sari bersikeras. "Biarkan kami keluar dari sini. Kami tak akan memberitahu
siapa pun apa yang terjadi. Sungguh!"
"Silakan naik ke dalam
peti ini," tegas Ahmed tak sabar. "Kita harus menunggu hingga getah
itu siap."
"Kami tak akan ke sana," kataku.
Seluruh tubuhku gemetar. Aku
bisa merasakan darah berdenyut di pelipisku. Aku bahkan tak menyadari aku
mengatakan apa yang kukatakan. Aku sangat takut, aku bahkan tak bisa mendengar
diriku sendiri.
Aku melirik Sari. Dia
berdiri menantang dengan tangan bersedekap erat di atas dadanya. Tapi meskipun
dia bersikap berani, aku bisa melihat dagunya gemetar dan matanya mulai
berlinang air mata.
"Ke peti," ulang
Ahmed, "tunggu nasib kalian. Khala tak akan terus menunggu. Kutukan kuno
akan dilakukan atas namanya."
"Tidak!" Aku berteriak marah.
Aku berjinjit dan menatap ke
peti mumi besar itu. Baunya sangat asam di sana, aku hampir terlempar. Peti ini
terbuat dari kayu. Melengkung, kotor dan dalamnya terkelupas. Dalam cahaya
berkedip-kedip, aku yakin aku melihat puluhan serangga merayap di sana.
"Ayo ke dalam peti itu sekarang!"
tuntut Ahmed.
19
Sari naik ke sisi atas dan
menurunkan dirinya ke peti mumi kuno itu. Dia selalu ingin menjadi yang pertama
dalam segala hal. Tapi sekali ini adalah salah satu waktu dimana aku tak
keberatan.
Aku ragu-ragu, menyandarkan
tanganku di atas kayu yang membusuk di sisi peti. Aku melirik ke peti
berikutnya, peti dengan Paman Ben dalamnya. Peti itu dari batu berukir, dan
tutup batu berat telah menutupinya, menyegelnya dengan kuat. Apa Paman Ben
punya udara di sana? Aku bertanya-tanya, dicekam ketakutan. Apakah ia bisa
bernapas?
Dan, lalu, aku berpikir
muram, apa bedanya? Kami bertiga akan segera mati. Kami bertiga akan menjadi
mumi, dikurung dalam ruangan tersembunyi ini selamanya. "Masuk -
sekarang!" Ahmed memerintahkan, matanya yang gelap menyala kepadaku.
"Aku - aku hanya anak kecil!" teriakku. Aku tak tahu darimana
kata-kata itu dari. Aku sangat takut, aku benar-benar tak tahu apa
yang kukatakan. Satu cibiran tak menyenangkan terbentuk di wajah Ahmed.
"Banyak dari firaun (raja Mesir) seumurmu saat mati," katanya.
Aku ingin tetap membuatnya
berbicara. Aku punya ide putus asa bahwa jika aku bisa membuat percakapan
terjadi, aku bisa membawa kami keluar dari kekacauan ini. Tapi aku tak bisa
memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Otakku membeku.
"Masuk," perintah Ahmed, bergerak
ke arahku mengancam.
Merasa benar-benar kalah,
aku meluncurkan satu kakiku ke samping peti mati busuk itu, mengangkat diri,
dan kemudian turun di samping Sari.
Dia menundukkan kepalanya,
dan matanya tertutup rapat. Kupikir dia sedang berdoa. Dia tak melirik, bahkan
saat aku menyentuh bahunya. Tutup peti mulai meluncur di atas kami. Hal
terakhir yang kulihat adalah nyala api merah melompat -lompat di atas lubang
getah. Kemudian tutupnya menutupi kami ke dalam kegelapan penuh.
"Gabe..." Sari bisik beberapa detik
setelah tutupnya ditutup. "Aku takut."
Untuk beberapa alasan,
pengakuannya membuatku tertawa terkekeh. Dia mengatakan itu dengan terkejut.
Seolah-olah takut adalah pengalaman baru yang mengejutkan. "Aku terlalu
takut untuk menjadi takut," bisikku kembali.
Dia meraih tanganku dan
meremasnya. Tangannya bahkan lebih dingin dan lebih basah dariku.
"Dia gila," bisiknya.
"Ya aku tahu,." Jawabku, masih
memegang tangannya.
"Kupikir ada serangga
di sini," katanya dengan gemetar. "Aku bisa merasakan mereka merayap
padaku."
"Aku juga,"
kataku. Aku menyadari bahwa aku menggertakkan gigi. Aku selalu melakukan itu
saat aku gugup. Dan sekarang aku lebih gugup daripada yang kupikir mungkin
secara manusiawi.
"Kasihan Ayah," kata Sari.
Udara dalam peti mati itu
sudah mulai terasa pengap dan panas. Aku mencoba mengabaikan bau asam
menjijikkan, tetapi bau itu telah bergerak perlahan-lahan ke dalam lubang
hidungku, dan aku bahkan bisa mencicipinya. Aku menahan napas agar tak
tersedak.
"Kita akan mati lemas di sini,"
kataku murung.
"Dia akan membunuh kita
sebelum kita bisa mati lemas," keluh Sari. "Aduh!" Aku bisa
mendengar menampar seekor serangga di lengannya.
"Mungkin sesuatu akan
terjadi," kataku. Cukup bodoh. Tapi aku tak bisa memikirkan harus berkata
apa lagi. Aku tak bisa berpikir. Titik.
"Semua yang terus
kupikirkan adalah bagaimana ia akan merogoh otakku dan menariknya keluar
melalui hidungku," keluh Sari. "Mengapa kau harus memberitahuku, Gabe?"
Aku butuh waktu untuk
menjawab. Lalu, aku hanya bisa berkata, "Maaf." Aku mulai
membayangkan hal yang sama, dan gelombang mual lainnya melandaku.
"Kita tak bisa hanya
duduk di sini," kataku. "Kita harus melarikan diri." Aku mencoba
mengabaikan bau tebal dan asam.
"Hah? Bagaimana?"
"Mari kita coba
mendorong tutupnya," kataku. "Mungkin kalau kita dorong
bersama-sama..."
Aku menghitung sampai tiga
dalam bisikan pelan, dan kami berdua meluruskan tangan kami ke bagian atas peti
mati dan mendorongnya sekeras yang kami bisa.
Tidak. Tutup itu tak akan bergeming.
"Mungkin dia
menguncinya atau menempatkan sesuatu yang berat di atasnya," saran Sari
dengan desahan sedih.
"Mungkin," jawabku, merasa seperti
menderita.
Kami duduk dalam keheningan untuk sementara
waktu. Aku bisa mendengar napas Sari. Dia seperti terisak-isak
saat dia bernapas. Aku sadar jantungku berpacu. Aku bisa merasakan pelipisku
berdenyut.
Aku membayangkan kait
panjang yang akan Ahmed gunakan pada otak kami untuk menariknya keluar dari
kepala kami. Aku mencoba untuk memaksa pikiran itu keluar dari pikiranku,
tetapi tak mau hilang.
Aku teringat satu mumi pada
dua Halloweens lalu, dan bagaimana kostum itu terlepas di depan teman-temanku.
Sedikit yang kuketahui
kemudian bahwa aku akan segera memiliki kostum mumi yang tak akan pernah
terlepas. Waktu pun berlalu. Aku tak tahu berapa lama.
Aku menyadari bahwa aku
telah duduk dengan menyilangkan kaki. Sekarang kakiku mulai kesemutan. Aku
meluruskannya dan meregangkannya keluar. Peti mumi ini begitu besar, Sari dan
aku berdua bisa menjatuhkannya jika kami inginkan. Tapi kita terlalu tegang dan
takut untuk berbaring. Aku adalah yang pertama untuk mendengar suara garukan.
Seperti sesuatu yang memanjat dengan cepat di dalam peti mumi.
Pada awalnya kupikir itu
Sari. Tapi dia meraih tanganku dengan tangannya yang dingin, dan aku sadar, ia
tak bergerak dari di depanku. Kami berdua mendengar suara keras. Sesuatu di
dekat kami, sesuatu tepat di samping kami, menabrak sisi peti. Sebuah mumi? Apa
ada mumi dalam peti ini dengan kami? Bergerak? Aku mendengar erangan pelan.
Sari meremas tanganku begitu
erat, sakit, dan aku menjerit tajam. Suara lain. Lebih dekat.
"Gabe -" bisik
Sari, suaranya kecil dan melengking. "Gabe - ada sesuatu di sini bersama
kita!"
20
Ini bukan mumi, aku berkata
pada diriku sendiri. Tidak bisa. Ini serangga. Seekor serangga yang sangat
besar. Bergerak di lantai peti mati. Ini bukan mumi. Ini bukan mumi.
Kata-kata itu berulang-ulang dalam pikiranku
Aku tak terlalu lama untuk
memikirkan benda itu. Apa pun itu merayap mendekat. "Hei!" bisik
sebuah suara.
Sari dan aku sama-sama
memjerit. "Di mana kalian?"
Kami mengenali suara itu segera.
"Paman Ben!"
teriakku, menelan ludah, jantungku berdebar-debar. "Ayah!" Sari
menerjang lebih melewatiku untuk mendapatkan ayahnya. "Tapi
bagaimana?" Aku tergagap. "Bagaimana Anda bisa di sini?"
"Mudah," jawabnya, meremas bahuku meyakinkan.
"Ayah - aku tak
percaya!" Sari meratap. Aku tak bisa melihat dalam kegelapan peti
tertutup, tapi kupikir dia menangis.
"Aku baik-baik saja.
Aku baik-baik," ulangnya beberapa kali, mencoba menenangkannya.
"Bagaimana kau bisa keluar dari peti itu dan ke dalam peti yang satu
ini?" Aku bertanya, benar-benar bingung dan takjub.
"Ada jalan keluar," kata Paman Ben.
"Satu lubang kecil dengan jalan keluar. Orang-orang
Mesir
membangun pintu keluar tersembunyi dan melarikan diri dari dalam kebanyakan
peti mumi mereka mumi. Untuk jiwa mayat itu agar bisa pergi."
"Wow," kataku. Aku tak tahu harus
berkata apa.
"Ahmed begitu terjebak
dalam omong kosong kutukan kuno itu, ia lupa tentang rincian kecil ini,"
kata Paman Ben, aku merasakan tangannya di bahuku lagi. "Ayolah, kalian
berdua. Ikuti aku."
"Tapi dia di luar sana -" aku
mulai.
"Tidak," jawab
Paman Ben cepat. "Dia menyelinap pergi. Ketika aku turun dari petiku, aku
mencarinya. Aku tak melihatnya di mana pun. Mungkin ia pergi ke tempat lain
sementara dia menunggu getah itu untuk mendapatkan panas yang cukup. Atau
mungkin dia memutuskan untuk cukup meninggalkan kita mati lemas dalam peti-peti
mumi itu. "
Aku merasa seekor serangga
meluncur di kakiku. Aku menamparnya, kemudian mencoba untuk menariknya keluar
dari dalam kaki celana jinsku.
"Kita pergi keluar," kata Paman
Ben.
Aku mendengar dia mengerang
saat ia berbalik dalam peti mati besar itu. Lalu aku bisa mendengarnya
merangkak ke belakang. Aku melihat sebuah persegi panjang kecil bercahaya saat
ia membuka pintu tersembunyi di belakang peti ini. Itu adalah lubang pelarian
yang sangat kecil, hanya cukup besar bagi kami untuk melaluinya dengan menekan
tubuh.
Aku mengikuti Paman Ben dan
Sari keluar dari peti ini, meluruskan diri untuk merangkak keluar melewati
lubang kecil itu, kemudian menjatuhkan diriku ke posisi merangkak di lantai
kamar.
Butuh beberapa saat bagi
mataku untuk menyesuaikan diri dengan (cahaya yang) terang. Api merah masih
menari-nari di atas lubang getah yang menggelembung, bayangan-bayangan biru
menakutkan tampak pada ke empat dinding ruangan. Mumi-mumi berdiri seperti
sebelumnya, membeku di tempat di sekeliling ruangan, bayangan-bayangan berkelap-kelip
pada wajah-wajah tak lengkap mereka.
Saat mataku mulai terfokus,
aku melihat bahwa Paman Ben terluka memar besar gelap di sisi kepalanya. Satu
koyakan lebar dengan darah yang mengering mencoreng pipinya. "Ayo keluar
dari sini sebelum Ahmed kembali," bisiknya, berdiri antara kita, satu
tangan pada setiap bahu kami. Sari tampak pucat dan gemetar. Bibir bawahnya
berdarah karena kunyahan padanya begitu keras.
Paman Ben mulai menuju
tangga tali di tengah ruangan, tapi kemudian berhenti. "Ini akan butuh
waktu terlalu lama," katanya, berpikir keras. "Ayo. Ke terowongan.
Cepat." Kami bertiga mulai berlari menuju terowongan di sudut (ruangan). Melihat
ke bawah, kulihat bahwa tali sepatu bodohku terlepas lagi. Tapi tak mungkin
bagiku untuk berhenti mengikatnya!
Kami akan keluar dari sini!
Beberapa detik sebelumnya,
aku telah kehilangan harapan. Tapi sekarang, di sini kami keluar dari peti mumi
dan menuju kebebasan.
Kami hanya beberapa meter di
depan pintu masuk terowongan saat terowongan itu tiba-tiba dipenuhi dengan
cahaya oranye.
Kemudian, dari luar
terowongan, Ahmed muncul, memegang obor baru di depannya, nyala api itu
menunjukkan wajahnya yang tampak terkejut.
"Tidak!" Sari dan aku berteriak
serempak. Kami bertiga tergelincir berhenti tepat di depannya.
"Kalian tak bisa
kabur!"kata Ahmed pelan, cepat mendapatkan kembali ketenangannya,
ekspresinya kagetnya menegang menjadi kemarahan. "Kalian tak bisa
lolos!"
Dia mendorongkan obor ke
arah Paman Ben, yang dipaksa untuk jatuh ke belakang, menjauh dari jangkauan
api mendesis. Dia mendarat keras di sikunya dan berteriak kesakitan.
Teriakannya menyebabkan
senyum muram di bibir Ahmed. "Kau telah membuat marah Khala,"
katanya, mengangkat obor di atas kepalanya dan meraih ujung sarung belati di
pinggangnya. "Kau tak akan bergabung dengan pelanggar lain dari ruangan
ini."
Wah. Aku menarik napas lega. Ahmed telah
berubah pikiran. Dia mempertimbangkan tak akan mengubah kita menjadi mumi.
"Kalian bertiga akan mati di lubang
getah," katanya.
Sari dan aku bertukar
pandang ngeri. Paman Ben kembali berdiri dan melingkarkan lengannya di
sekeliling kami. "Ahmed, tidak bisakah kita berbicara tentang ini dengan
tenang dan rasional sebagai ilmuwan?" tanyanya.
"Ke lubang getah,"
perintah Ahmed, dengan marah menyodorkan obor menyala pada kami.
"Ahmed - kumohon!"
teriak Paman Ben dengan merengek dengan nada ketakutan yang tak pernah kudengar
darinya sebelumnya.
Ahmed mengabaikan permintaan
putus asa Paman Ben. Mendorong obor di punggung kami dan memberi isyarat dengan
belati berbilah panjang, ia memaksa kami untuk berjalan ke tepi lubang.
Getah itu menggelegak ribut
sekarang, membuat letupan jelek dan suara menghisap. Lidah api melintas
puncaknya yang rendah dan merah, aku mencoba menariknya kembali. Baunya begitu
buruk. Dan uapnya begitu panas, membuat wajahku (serasa) terbakar.
"Satu demi satu, kalian akan
melompat," kata Ahmed.
Dia berdiri beberapa kaki di
belakang kami saat kami menatap ke dalam getah yang menggelegak itu. "Jika
kalian tak melompat, aku terpaksa mendorong kalian." "Ahmed -"
Paman Ben memulai. Tapi Ahmed menyentuhkan obor ke punggung Paman Ben.
"Telah datang
giliranku," kata Ahmed khidmat. "Kehormatan untuk melakukan keinginan
Khala itu."
Uap getah itu begitu luar
biasa, kupikir aku akan pingsan. Lubang itu mulai miring di depanku. Aku merasa
sangat pusing. Aku memasukkan tanganku ke saku celana jeans, kurasa untuk
menenangkan diriku sendiri. Dan tanganku berakhir pada sesuatu yang telah
kulupakan.
Summoner (Si Pemanggil).
Tangan mumi yang kubawa ke mana-mana. Aku tak
yakin mengapa - aku tak berpikir jernih sama sekali - tetapi aku menarik tangan
mumi kecil itu. Aku berputar cepat. Dan aku menahan tangan mumi itu
tinggi-tinggi. Aku tak bisa benar-benar menjelaskan apa yang terjadi dalam
pikiranku. Aku begitu takut, begitu penuh dengan rasa takut, aku telah berpikir
seratus hal sekaligus. Mungkin kuberpikir tangan mumi itu akan mengalihkan perhatian
Ahmed.
Atau menarik baginya. Atau
membingungkan dia. Atau membuatnya takut.
Mungkin aku hanya mengulur-ulur waktu. Atau
mungkin aku tanpa sadar mengingat legenda di balik tangan itu yang diceritakan
anak di bengkel lelang padaku.
Legenda mengapa tangan itu disebut Summoner. Bagaimana
tangan itu digunakan untuk memanggil jiwa-jiwa dan roh-roh kuno. Atau mungkin
aku tak berpikir apa-apa.
Tapi aku berbalik dan
mencengkeramnya dengan pergelangan tangan yang ramping, memegang tangan mumi
itu tinggi-tinggi. Dan menunggu. Ahmed menatapnya. Tapi tak terjadi apa-apa.
21
Aku menunggu, berdiri di sana seperti Patung
Liberty dengan tangan kecil itu terangkat tinggi di atas kepalaku. Tampaknya
seolah-olah aku berdiri seperti itu selama berjam-jam. Sari dan Paman Ben
menatap tangan itu.
Menurunkan obor beberapa
inci, Ahmed memicingkan mata di tangan mumi. Kemudian matanya melebar, dan
mulutnya ternganga kaget. Ia berteriak. Aku tak mengerti apa yang ia katakan.
Kata-kata itu dalam bahasa yang belum pernah kudengar. Mungkin bahasa Mesir
Kuno. Dia melangkah mundur, ekspresi terkejut dengan cepat digantikan oleh
pandangan mata melebar ketakutan.
"Tangan Pendeta itu!" teriaknya.
Setidaknya, itulah yang
kupikir dia jeritkan - karena aku tiba-tiba terganggu oleh apa yang terjadi di
belakangnya.
Sari menjerit pelan. Kami bertiga menatap
melewati bahu Ahmed tak percaya. Satu mumi yang bersandar di dinding tampaknya
condong ke depan. Mumi lain yang berbaring terlentang, perlahan-lahan duduk,
berderit seperti bangkit sendiri.
"Tidak!" teriakku, masih memegangi
tangan mumi itu tinggi-tinggi.
Sari dan Paman Ben ternganga
dengan mata melebar saat ruang yang luas itu dipenuhi dengan gerakan. Saat
mumi-mumi itu berderit dan mengerang hidup. Udara penuh dengan bau tengik debu
kuno dari pembusukan.
Dalam cahaya remang-remang,
aku melihat satu mumi, lalu mumi lainnya, berdiri tegak, berdiri tinggi. Mereka
mengulurkan tangan diperban mereka di atas kepala-kepala tak lengkap mereka.
Perlahan-lahan. Menyakitkan.
Berjalan sempoyongan, bergerak kaku,
mumi-mumi terhuyung-huyung ke depan.
Aku menyaksikan, membeku
dengan takjub, saat mereka keluar dari peti mumi, bangkit dari lantai,
membungkuk ke depan, mengambil langkah lambat pertama mereka, langkah-langkah
berat, otot-otot mereka mengerang, debu beterbangan dari mayat-mayat kering
mereka.
Mereka sudah mati, pikirku.
Mereka semua. Mati. Mati selama
bertahun-tahun.
Tapi sekarang mereka
bangkit, naik dari peti mati kuno mereka, berjuang dengan susah payah ke arah
kami dengan kaki-kaki mati mereka yang berat. Kaki diperban mereka
menggaruk lantai ruangan saat mereka berkumpul dalam kelompok.
Garuk. Garuk. Garuk.
Suatu suara seretan kaki
yang aku tahu aku tak akan pernah melupakannya. Garuk. Garuk.
Tentara berwajah tak lengkap
itu mendekat. Lengan-lengan diperban terulur, mereka terhuyung-huyung ke arah
kami, berderit dan mengerang. Mengerang lembut dengan kesakitan kunonya.
Keterkejutan Ahmed tertangkap oleh wajah kami
dan ia berputar-putar.
Dia berteriak lagi dalam
bahasa yang aneh saat ia melihat mumi-mumi maju kepada kami, menggesek begitu
pelan, begitu tenang dan berhati-hati, melintasi lantai ruangan. Dan, kemudian,
dengan teriakan marah, Ahmed mengangkat obor pada mumi yang memimpin.
Obor itu menghantam dada
mumi itu dan terpental ke lantai. Api meledak dari dada mumi itu, segera
menyebar ke lengan dan ke bawah kaki. Tapi mumi itu terus maju,
tak melambat, tak bereaksi sama sekali pada api yang dengan cepat melalapnya.
Menganga denga mulut terbuka
ngeri, mengoceh seolah kata-katanya tak ada habisnya dalam bahasa misterius
itu, Ahmed mencoba untuk lari.
Tapi ia terlambat.
Mumi terbakar itu menerjang
ke arahnya. Sosok tubuh kuno itu menangkap tenggorokan Ahmed, mengangkatnya
tinggi di atas bahunya yang berkobar-kobar. Ahmed mengucapkan jeritan tinggi
bernada ngeri saat mumi lain terhuyung-huyung ke depan. Mengerang dan meratap
melalui perban mereka menguning, mereka bergerak untuk membantu rekan yang
terbakar.
Mereka mengangkat Ahmed
tinggi di atas kepala-kepala mereka yang mengerang. Dan kemudian menahannya di
atas lubang getah yang terbakar. Menggeliat-geliat dan menendang-nendang, Ahmed
mengeluarkan jeritan tajam saat mereka menahannya di atas getah yang mendidih,
menggelegak, dan mengepul.
Aku memejamkan mata. Panas
dan asap getah itu berputar-putar di sekitarku. Aku merasa seolah-olah aku
sedang ditelan, ditarik ke dalam kegelapan asap. Ketika aku membuka mata, aku
melihat Ahmed melarikan diri ke terowongan, berlari sempoyongan gedebak
gedebuk, menjerit-jerit ketakutan dengan mulut ternganga saat ia berlari.
Mumi-mumi tetap di lubang itu, menikmati kemenangan mereka.
Aku menyadari bahwa aku
masih memegang tangan mumi di atas kepalaku. Aku menurunkannya perlahan-lahan,
dan menatap Sari dan Paman Ben. Mereka berdiri di sampingku, wajah mereka penuh
dengan kebingungan. Dan lega.
"Mumi-mumi itu -"
Aku berhasil mengucapkannya. "Lihat," kata Sari, menunjuk.
Aku mengikuti arah
tatapannya. Para mumi itu semuanya kembali pada tempatnya. Sebagian menyandar,
sebagian lagi bersandar dengan sudut aneh, sebagian berbaring. Mereka berada di
tempat persis di tempat mereka saat aku memasuki ruangan itu. "Hah?"
Mataku sangat cepat mengitari seluruh ruangan.
Apakah mereka semua
bergerak? Apakah mereka bangkit sendiri, berdiri, dan terhuyung-huyung ke arah
kami? Atau apakah kami membayangkan itu semua? Tidak.
Kami tak bisa membayangkan
itu. Ahmed telah pergi. Kami selamat.
"Kita baik-baik
saja," kata Paman Ben bersyukur, menaruh tangannya padaku dan Sari.
"Kita baik-baik saja. Kita baik-baik saja.."
"Kita bisa pergi
sekarang!" Sari menangis bahagia, memeluk ayahnya. Lalu ia berpaling ke
arahku. "Kau menyelamatkan hidup kami," katanya. Dia serasa tercekik
dengan kata-kata itu. Tapi dia mengucapkannya.
Kemudian Paman Ben
memalingkan pandangannya kepadaku dan benda itu masih kucengkeram erat di
depanku. "Trim's untuk pertolongannya," kata Paman Ben.
***
Kami makan malam besar di
restoran saat kembali di Kairo. Ini adalah mujizat masing-masing dari kami
makan dalam jumlah besar turun sejak kami semua berbicara bersamaan, berceloteh
penuh semangat, menghidupkan kembali petualangan kami, mencoba untuk memahami
semuanya.
Aku memutar Summoner di sekitar meja.
Paman Ben menyeringai
padaku. "Aku tak tahu betapa istimewanya tangan mumi itu!" Dia
mengambilnya dariku dan memeriksa dengan cermat. "Sebaiknya jangan bermain
dengan itu," katanya serius. "Kita harus memperlakukan dengan
hati-hati." Dia menggelengkan kepalanya. "Aku ilmuwan besar luar
biasa!" ia berseru mencemooh. "Saat aku melihatnya, kupikir itu hanya
mainan, barang tiruan. Tapi tangan ini mungkin penemuan terbesarku dari
semuanya!."
"Ini jimat
keberuntunganku," kataku, memperlakukannya dengan lembut saat aku
mengambilnya kembali.
"Kau bisa mengatakan
itu lagi!" Sari memberikan penghargaan. Hal terbaik yang pernah ia katakan
kepadaku.
Kembali di hotel, aku
terkejut sendiri karena tertidur seketika. Kupikir aku akan terjaga sampai
selama berjam-jam, memikirkan semua yang telah terjadi. Tapi kurasa semua
kehebohan itu menghabiskan tenagaku.
***
Keesokan paginya, Sari,
Paman Ben, dan aku sarapan besar di kamar itu. Aku punya sepiring orak -arik
telur dan semangkuk Frosted Flakes. Saat aku makan, aku bermain-main dengan
tangan mumi kecil itu. Kami bertiga merasa baik, senang bahwa petualangan
menakutkan kami telah berakhir. Kami saling bercanda, menggoda satu sama lain,
banyak tertawa.
Setelah aku menyelesaikan
serealku, aku mengangkat tangan tinggi mumi kecil. "O, Summoner,"
teriak saya dengan suara dalam, "Aku memanggil roh-roh kuno. Ayo hiduplah.
Ayo hiduplah kembali!"
"Hentikan, Gabe,"
bentak Sari. Dia menyambar tangan itu, tapi aku mengayunkannya keluar dari
jangkauannya.
"Ini tak lucu," katanya. "Kau
tak seharusnya bermain-main seperti itu."
"Apakah kau
penakut?" tanyaku, menertawakannya. Aku bisa melihat bahwa ia benar-benar
ketakutan, yang membuatku menikmati lelucon kecilku bahkan lebih.
Menjaga tangan itu dari
jangkauannya, aku mengangkat tangan itu tinggi-tinggi. "Aku memanggil
kalian, roh-roh mati yang kuno," teriakku. "Datanglah padaku.
Datanglah padaku sekarang!." Dan ada ketukan keras di pintu. Kami bertiga
terengah-engah. Paman Ben menjatuhkan gelas jusnya. Gelas itu berdentang di
meja dan tumpah. Aku membeku dengan tangan kecil itu di udara.
Ketukan keras lagi.
Kami mendengar garukan di
pintu. Suara kuno, jari-jari diperban berusaha (membuka) kunci. Sari dan aku
bertuar pandang ngeri. Aku perlahan-lahan menurunkan tangannya saat pintu
terbuka. Dua sosok bayangan terhuyung-huyung ke dalam ruangan. "Ibu dan
Ayah!"teriakku.
Aku berani bertaruh mereka terkejut melihat
betapa senangnya aku melihat mereka.
THE END
No comments:
Post a Comment